Pabrik Mulut
Ilustrasi pabrik mulut.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dari tahun ke tahun, sebagian besar petani kita tidak hanya berada dalam kondisi subsisten. Tapi, sudah delusi. Hasil dari pertaniannya tidak hanya cukup untuk memenuhi kehidupan dasarnya. Tapi, terus menurun dan defisit setiap tahun.
BACA JUGA:Kantor Imigrasi Ponorogo Bongkar Praktik Perdagangan Ginjal, Lima Orang Ditangkap
BACA JUGA:Nongkrong di Ruang Kerja Bupati Ponorogo yang Berwujud Warung Angkringan
”Akibatnya, mereka lebih banyak menganggur ketimbang disibukkan pekerjaan dengan luas lahan seperti itu. Akhirnya, sebagian besar menjadi pabrik mulut. Nganggur, rasan-rasan, termasuk lebih banyak ngomong politik,” katanya, lantas ketawa.
Pabrik mulut adalah istilah untuk orang yang banyak bicara. Yang kurang pekerjaan dan menjadikan perbincangan antar sesama menjadi semacam pekerjaan sehari-hari. Pabrik mulut biasanya dilakukan orang-orang yang kurang pekerjaan. Terlalu banyak waktu senggang.
Karena itu, ia terus-menerus berupaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani itu. Misalnya, menjalankan program ternak domba yang bekerja sama dengan perbankan. Tiap kelurahan diwajibkan mendistribusikan domba ke petani. Terus bergulir sehingga kelak akan makin banyak yang kebagian.
BACA JUGA:Gelar Purnama, Reog Ponorogo Pukau Pengunjung Taman Budaya Jatim
BACA JUGA:Dilarang Main Petasan dan Melepas Balon saat Lebaran di Ponorogo
Ia pun menjadikan sawah milik pribadinya untuk demplot pertanian dengan cara tata kelola modern. Satu kawasan ditanami berbagai komoditas yang bisa panen secara bergulir. Mulai sayuran sampai padi-padian. Itu dilakukan untuk memberikan contoh kapada petani lainnya.
Sektor pertanian memang belum begitu tersentuh sejak zaman reformasi politik berlangsung. Selain pemulihan, prioritas setiap rezim belum sampai ke urusan yang menjadi sumber penghasilan sebagain besar rakyat Indonesia itu.
Belum sampai berbicara soal ketahanan pangan. Yang dalam berbagai hal kita sudah sangat tergantung kepada negara lain. Seperti gula, kedelai, bawang putih, garam, daging, dan seterusnya. Kita pernah mengimpor 5 juta ton gula dalam setahun. Padahal, sebelum merdeka, kita dikenal sebagai pengekspor gula terbesar kedua di dunia.
Menurut saya, problemnya bukan pada sumber daya alam kita. Tapi, lebih kepada soal tata kelola. Tidak pernah ada tata kelola yang terencana dengan baik untuk sektor pertanian. Malah, mohon maaf, sektor itu masih menjadi objek politik dengan menyerahkan kementerian yang bertanggung jawab soal pangan kepada partai-partai politik.
Paradigma pertanian rasanya perlu didorong untuk berubah. Tidak hanya dalam hal tata kelola dan kebijakan. Tapi, juga pola pikir di kalangan para petani kita. Rasanya, sudah harus didorong untuk bertransformasi menuju ke sistem pertanian modern. Pertanian berbasis teknologi dan mekanisasi.
Di beberapa tempat, telah muncul petani modern yang dipelopori sejumlah anak muda. Bahkan, mereka sudah bisa mengubah pola pikir para petani di sekitarnya sehingga turut serta menjadi petani modern. Itu terjadi di Blitar dengan komoditas melonnya. Juga, tempat-tempat lainnya.
Namun, untuk menjadi sebuah gerakan nasional, tidak mungkin hanya diserahkan kepada inovator pertanian secara individual. Sudah saatnya menjadi prioritas pemerintah dengan menjadikan pertanian sebagai bagian dari proyek strategis nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: