Tak Ada Sistem Kasta dalam Masyarakat Hindu Tengger
Kebersamaan warga Suku Tengger saat beramai-ramai menyantap hidangan tumpeng kabuli di Lautan Pasir, Gunung Bromo-Guruh Dimas Nugraha-
PASURUAN, HARIAN DISWAY - Dalam keseharian masyarakat Tengger, termasuk yang berdiam di kawasan Tosari, Pasuruan, semua orang hidup berbaur. Tanpa sekat dan semua orang setara.
Tak peduli seorang Romo Dukun (sebutan pemuka agama setempat) atau keturunannya, pengusaha atau masyarakat biasa.
Dalam interaksi sehari-hari, rasanya mereka tak mengenal kasta. Tak seperti Hindu India yang pernah menerapkan sistem kasta secara kaku dan ketat.
BACA JUGA: Ini Perbedaan Antara Hindu Tengger dan Hindu Bali
BACA JUGA: Mengapa Dinamakan Tengger? Ini Jawabannya!
Romo Dukun Puja Pramana, yang ditemui Harian Disway sebelum upacara Kasada, menyebut bahwa umat Hindu Tengger tak pernah membeda-bedakan satu sama lain.
Itu diperkuat oleh Pemangku Sutaji yang memimpin peribadatan Semeninga, beberapa jam sebelum Eksotika Bromo digelar pada 8 Oktober 2023.
"Tidak. Kami semua sama. Makan bersama ya makan bersama. Tak peduli siapa. Prinsipnya kebersamaan, seduluran," katanya.
Dari berbagai sumber, sistem kasta, utamanya yang pernah terjadi di India, adalah hasil interpretasi yang keliru terhadap pembacaan sloka suci.
Pun akibat dari sistem pecah-belah yang dilakukan penjajah kolonial.
Dalam Bhagavat Gita 4:13, disebut pembagian sistem kerja manusia yang disebut Catur Varna.
Hanya sebatas identifikasi pekerjaan manusia. Tak ada penyebutan "kasta" sama sekali.
Bab Purusha Sakta dari Rig Veda, menyebut bahwa dari tubuh Tuhan tercipta beberapa bagian manusia dan alam semesta.
Kepala: brahmana, lengan: ksatria, paha: waisya dan kaki: sudra. Itu diinterpretasikan secara keliru sebagai sistem klasifikasi sosial yang kaku.
Bagi masyarakat Tengger yang tak mengenal kasta, bab itu bukan bermaksud membagi tingkatan sosial manusia.
Melainkan, empat bagian tersebut adalah satu kesatuan tubuh. Jika salah satu bagian terasa sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit.
BACA JUGA: Mengapa Pakaian Khas Suku Tengger Berwarna Hitam? Ini Jawabannya
BACA JUGA: Kisah Brahmana Keling, Leluhur Suku Tengger
Hal itu diamini oleh Afizki Arif Ridwan, tokoh pemuda Hindu Pasuruan. "Memang seperti itu.
Di kalangan warga Tengger, semuanya bantu-membantu. Bahkan ada filosofi genten abot atau gotong royong," ujarnya.
Filosofi itu membuat masyarakat Tengger hidup dalam kebersamaan tanpa membeda-bedakan. Mereka pun toleran pada orang yang berbeda keyakinan.
Jika pun ada interpretasi yang mengarah pada sistem kasta, itu akan terbantahkan pula oleh konsep Tri Hita Karana yang juga dipegang oleh masyarakat Tengger.
Filsafat yang menekankan pada pentingnya interaksi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan dengan alam yang memberi kehidupan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: