Menggali Kembali Makanan Berbahan Serangga dengan Entomofagi sebagai Makanan Masa Depan
Banyak masyarakat di Jawa yang punya kebiasaan mengonsumsi serangga seperti jangkrik yang menjadi menu lezat ini. Menu serangga yang hits antara lain walang, uler jedung, ungkrung uler jati, sampai laron. -Freepik-
Produksi daging dan produk susu menyumbang sekitar seperempat dari pemanasan global melalui emisi CO2 yang dihasilkan. Sapi dan domba menyemburkan metana, gas rumah kaca yang kuat tetapi berumur pendek.
Petani membabat hutan untuk membuat padang rumput dan menanam kedelai, yang tiga perempatnya digunakan untuk pakan ternak. Wajar kalau serangga diunggulkan sebagai makanan masa depan.
Meski memiliki berbagai keunggulan, makanan berbahan serangga tidak begitu saja dapat diterima sebagai sumber protein yang potensial. Persepsi budaya masyarakat yang masih menganggap tidak lazim dan menjijikkan.
BACA JUGA: Gangguan Mental BSD: 5 dari 100 Orang Kecanduan Belanja Online
Di negara Asia dan Afrika, serangga banyak disajikan utuh sedangkan di negeri Eropa, dan Amerika, serangga disajikan dalam bentuk yang berbeda seperti tepung, giling dan beku, kering.
Teknologi penyajian makanan berbahan serangga menjadi permasalahan tersendiri. Maka, untuk mendukung teknologi pangan serangga, Indonesia perlu memiliki SMK atau program studi entomofagi yang mengembangkan teknologi dan olahan pangan serangga.
Aspek lain yang menghambat popularitas edible insect adalah produksi dan rantai pasokan yang kurang stabil. Penyediaan serangga lebih mengandalkan alam.
Jika pengembangan serangga telah menjadi industri tidak menutup kemungkinan serangga dapat menggantikan sebagai sumber protein alternatif. (Dosen D4 Destinasi Pariwisata, Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: