Patriarki dan Kurangnya Kesadaran Hukum Picu Kekerasan Perempuan dan Anak di Surabaya

Patriarki dan Kurangnya Kesadaran Hukum Picu Kekerasan Perempuan dan Anak di Surabaya

Anak-anak berhak bahagia dan tidak pantas mendapatkan kekerasan. -M Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terjadi di Indonesia. Tak terkecuali di Kota Surabaya.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya mengungkap sejumlah faktor yang memicu tindakan tercela tersebut.

Patriarki termasuk faktor yang memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sistem sosial ini seperti sudah mendarah daging di masyarakat. Di mana pria ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan utama.

BACA JUGA:Fery Farhati: Posisi Perempuan Penting dalam Politik, Jangan Salah Pilih Pemimpin

Pria mendominasi dalam seluruh tatanan lini kehidupan. Pria ditempatkan sebagai superior dan perempuan inferior.

"Kesetaraan gender belum digubris. Nah, budaya ini melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima," ujar Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), DP3APPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari, Jumat, 26 Januari 2024.

Pemicu lainnya ialah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum. Padahal, kekerasan terhadap perempuan dan anak diatur dalam Undang-undang di Indonesia. Namun, masih banyak yang mengabaikan.

"Sudah ada undang-undang perlindungan dan sebagainya. Tapi yang tidak paham itu masyarakatnya atau pelaku. Jadi mereka tidak paham apa yang dilakukan itu ada konsekuensi hukum," jelasnya.

BACA JUGA: Dicari: Kandidat Presiden yang Punya Komitmen Pada Isu-Isu Perempuan!

Hal yang tak kalah penting ialah faktor individual yang disebabkan karena lingkungan keluarga. Thussy menyebut, banyak pelaku dan korban kekerasan lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak harmonis.

"(Pelaku, Red) menganggap kekerasan ini hal yang wajar. Tidak perlu dilaporkan, tidak perlu ditindaklanjuti. Mereka itu tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan salah dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," ujarnya.

Kondisi ini diperparah dengan ketidaksadaran pelaku terhadap tindakan kekerasan. Menurutnya, banyak pelaku kekerasan tidak menyadari tindakan itu menyakiti dan merugikan korban. Pelaku ada yang merasa wajar dan biasa saja.

"Apakah dia anak kandung sendiri atau siapa saja dalam lingkungan keluarga. Mereka itu merasa berhak melakukan kekerasan karena, misalnya (pelaku merasa, Red) orang yang memberi uang untuk korban," jelasnya. 

BACA JUGA: Hari Kependudukan Dunia 2023, Kepala BKKBN: Masyarakat Jadi Kuat Saat Perempuan dan Anak Diberdayakan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: