Langkah Endgame Jokowi
Ilustrasi. Demokrat menyebut cawe-cawe Jokowi sudah tidak masuk akal saat ini-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: Jokowi, Antara Relawan dan Parpol
Sistem pemerintahan Indonesia membuat posisi presiden dilematis. Sistem presidensial yang kita anut menempatkan presiden tak hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi juga kepala negara. Selain itu, presiden adalah panglima tertinggi TNI.
Sebagai kepala pemerintahan, presiden merupakan produk proses politik. Itulah yang menempatkannya sebagai pejabat politik. Yang menjadi dasar presiden bisa berpihak dalam politik.
Namun, presiden juga kepala negara. Pun, presiden adalah panglima tertinggi TNI. Dalam posisi itu, presiden harus bersikap negarawan. Bersikap netral yang memberikan perlakuan yang sama kepada semua pasangan capres.
BACA JUGA: Sapu Jagat ala Jokowi
Apalagi, sebagai panglima tertinggi TNI, wajib hukumnya presiden bersikap netral. TNI adalah alat negara dan tidak mempunyai hak politik memilih dan dipilih. Kalau TNI netral, panglima tertinggi sebagai pucuk pimpinan harus netral juga.
Lain halnya dengan negara yang menganut sistem parlementer. Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah. Kepala pemerintahannya lahir dari pemenang pertarungan politik di parlemen. Pemerintahan itu dipimpin PM (perdana menteri). Presiden hanya sebagai kepala negara (dalam sistem republik) atau raja (monarki).
Pemisahan kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi solusi ketika terjadi krisis politik. Misalnya, dalam kasus krisis politik 2022 di Malaysia.
BACA JUGA: Guruh Soekarnoputra Usul Jokowi Jadi Ketum PDIP, Partai Keluarga Terancam
Saat itu terjadi buntu pemilihan PM karena tak ada koalisi mayoritas di parlemen. Karena keadaan deadlock, Yang Dipertuan Agong Malaysia –sebagai kepala negara– Abdullah Riyatuddin Al Mustafa Billah Syah mengambil keputusan dengan mengangkat Anwar Ibrahim sebagai PM. Krisis pun berakhir.
Sistem presidensial di Indonesia membuat presiden sulit dipisahkan sebagai pejabat publik (kepala negara) atau pejabat politik. Sebenarnya, kalau memosisikan diri sebagai negarawan, presiden harus berdiri untuk semua golongan. Bila mengedepankan etika, presiden harus mengedepankan sikap negarawan.
Presiden Jokowi sendiri sudah mengklarifikasi dirinya bersikap netral. Ia sudah menegaskan tidak akan kampanye untuk calon tertentu. Ia tak akan memanfaatkan aturan yang memperbolehkan presiden berpihak.
BACA JUGA: KTT Ke-43 ASEAN 2023: Patsy, Jokowi, dan Biden
Tapi, manuver-manuver presiden akhir-akhir ini bisa ditafsir sebagai keberpihakan pada calon 2 Prabowo-Gibran. Salah satu sikapnya ialah melakukan pertemuan dengan pimpinan partai koalisi paslon nomor 2.
Awalnya, ditafsir presiden bertemu dengan menterinya. Sebab, para ketum partai koalisi, yakni Prabowo (Gerindra), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Zulkifli Hasan (PAN), kebetulan menteri. Namun, tafsir itu gugur karena Jokowi juga bertemu Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat) yang bukan anggota kabinet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: