Khasanah Ramadan (17): Beriman Teologis-Ekologis

Khasanah Ramadan (17): Beriman Teologis-Ekologis

Dengan berlakunya UUPS, semua wajib menyiapkan diri memasuki “pintu gerbang Indonesia bersih”. Seperti program Clean up Tanara yang diresmikan Wapres KH Maruf Amin didampingi Menteri LHK Siti Nurbaya di Desa Tanara, Serang. -Rosa Vivien Ratnawati-

Pemerintah nasional menetapkan kebijakan “kebangsaan” pengelolaan sampah yang berkeadilan dengan teknologi bersih guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

UUPS ini mengamanatkan bahwa “sampah ternyata menjadi variabel yang dapat didayagunakan sebagai instrumen ekonomi peningkatan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian sampah benar-benar sumber keuangan dan kesejahteraan rakyat. 

Pada level pemerintah provinsi terdapat penguatan koordinatif gubernur. Pemerintah provinsi harus mampu mengembangkan kerjasama pengelolaan sampah antar kabupaten/kota.

Pemerintah provinsi tidak boleh diam dan “duduk manis” berkaitan dengan pengelolaan sampah dalam wilayahnya yang bergolak. Terhadap substansi inilah Provinsi Jawa Timur sekarang ini melakukaan koordinasi untuk pembangunan TPA Terpadu.

Hal ini sesuai dengan anggitan bahwa problem persampahan di kabupaten/kota yang “mengguncang perikehidupan” publik yang tidak mampu diatasi kabupaten/kota secara independen harus dibantu sepenuhnya oleh pemerintah provinsi. 

Inilah titik simpul terjalinnya kerja kolektif segmen pemerintahan untuk bersatu padu mengelola sampah demi “keelokan Indonesia”.

Pemerintah kabupaten/kota tentu saja “lini terdepan” sebagai institusi publik yang berwenang secara praksis di bidang pengelolaan sampah.

Kegagalan pemkot/pemkab dalam mengatasi masalah sampah dapat mambawa implikasi hukum yang jauh, lebih dari sekadar “evaluasi kinerja lingkungan” pemerintahannya.

Wali kota/bupati tidak bisa lagi “leha-leha” dengan sampah, karena ia secara institusional dapat digugat oleh warganya atas “buruknya kinerja” di bidang pengelolaan sampah. Pemkot/pemkab juga tidak dapat menerapkan retribusi general tanpa kriteria lagi. 

Dalam UUPS ini diatur bagaimana pungutan retribusi didasarkan pada volume sampah yang dihasilkan, sehingga beban besaran retribusi masing-masing penghasil tidak lagi sama. Pengelolaan sampah yang buruk juga membawa dampak berupa pemberian kompensasi pada pihak-pihak yang dirugikan. 

Bagi warga yang membuang sampah sembarangan (tidak pada tempatnya), tidak dipilah dan sepatutnya pula tidak pada jadwal yang ditentukan, akan diproses hukum. Tentu saja secara teknis ini menjadi wilayah pengaturan peraturan daerah yang dibuat masing-masing pemerintah kabupaten/kota.

BACA JUGA: Khasanah Ramadan (15): Pemimpin Baru di Kala Ramadan

Namun, ada yang “norma monster” dalam UUPS, yaitu setiap orang dilarang mengimpor sampah ke wilayah NKRI. Jangan coba-coba melanggar larangan ini sebab sanksi hukum tiga tahun penjara dan denda tiga miliar rupiah akan “menghampiri Anda”.
Pencapaian Surabaya meraih Adipura. Ini mengingatkan bahwa melalui regulasi UU No. 18 Tahun 20028, maka siapa pun penguasanya di kabupaten/kota memang tidak boleh main-main dengan pengelolaan sampah. -Teddy Insani-HARIAN DISWAY

UUPS secara kontektual amatlah demokratis karena format besarnya mengedepankan pengelolaan sampah berbasis komunitas. Para pemulung dan komunitas pengelolah sampah yang selama ini hanya dilihat sebelah mata, kini dengan UUPS “diformalkan”. 

Posisi ini menjadikan komunitas pengelola sampah memiliki dasar hukum sebagai pelaku penting dalam manajemen persampahan dan berhak pula mendapatkan subsidi sebagai bagian dari pembiayaan persampahan. Pemulung secara yuridis adalah profesi yang harus dihormati. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: