Pameran Karya Aksara Jawa Kuna Nawasena Interpretasikan Sejarah Lampau

Pameran Karya Aksara Jawa Kuna Nawasena Interpretasikan Sejarah Lampau

Pameran karya aksara Jawa Kuna Nawasena. Suasana pameran aksara Jawa Kuna Nawasena, ketika dibuka pada 4 Mei 2024.-M Azizi Yofiansyah-HARIAN DISWAY

Karya lainnya milik Fakhita Madury. Instalasi kursi yang ditutup dengan kain putih, serta potongan-potongan puzzle di dinding. Karya itu berjudul Membawa Kembali Arya Wiraraja ke Sumenep.

Sebagai perupa asal Sumenep, Madura, saat belajar dengan Nawasena, Fakhita tertarik dengan sosok Arya Wiraraja.

Wiraraja merupakan jenius politik yang hidup pada masa akhir Singhasari hingga masa awal Majapahit. Ia dikenal dengan strateginya. Mulai dari menghancurkan Kerajaan Kediri, mengusir tentara Mongol, dan berjasa dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.

“Bagi saya semangat Wiraraja adalah prasasti yang tidak tertulis dalam jiwa-jiwa orang Madura saat ini,” ujarnya. 

Itu terlihat dari kegigihan orang Madura dalam berdagang, juga sikap mereka yang tegas dan tanpa kompromi. “Bahwa orang-orang Madura itu sikapnya diturunkan dari leluhur kami, Arya Wiraraja,” terang perempuan 26 tahun itu.

BACA JUGA:Pameran Paseduluran oleh Paspetung; sebuah Persaudaraan Global dan Universal

“Orang Madura bisa melebur dengan siapa pun dan dimana pun. Itu saya gambarkan melalui sorot cahaya lampu dengan warna yang berganti-ganti,” ungkapnya. 

Puzzle tak utuh yang ada di dinding merupakan gambaran tentang misteriusnya sosok Arya Wiraraja. Hingga kini asal-usulnya masih diperdebatkan. 

Ada yang mengatakan Wiraraja dari Bali, ada yang menyebut dari Madura. Tapi berasal dari mana pun dirinya itu tak menjadi masalah. “Yang penting semangat dan kecerdikan beliau tetap kami bawa,” ungkapnya.


Pameran karya aksara Jawa Kuna Nawasena. Syska Liana (kiri) mengangkat sosok perempuan yang menjadi penguasa Majapahit dalam pameran Nawasena.-M Azizi Yofiansyah-HARIAN DISWAY

Sedangkan kursi yang diselimuti kain putih adalah bentuk tradisi masyarakat Jawa dan Madura. Yakni ketika seseorang pergi jauh, maka kursi, meja, dan segala properti di rumahnya dibungkus dengan kain.

Selain mencegah debu, tradisi itu diyakini agar tetap menjaga kesucian rumah. Sehingga tak ada energi negatif yang masuk. "Ini gambaran kursinya Arya Wiraraja. Meski beliau sudah tiada, tapi beliau hanya pergi saja. Semangat dan jiwanya masih ada di sini," terang alumni seni rupa STKW itu.

Syska Liana, perupa sekaligus ketua panitia pameran Nawasena, mengusung karya berjudul Stri Makuthadara. Instalasi berukuran cukup besar, berbentuk mahkota kerajaan yang dibangun dari rangkaian lampu-lampu neon. Di tengah-tengahnya tergantung pernak-pernik perhiasan.

Di tiga sudut dinding ruangan itu terdapat tiga nama yang ditulis dalam aksara Jawa Kuna. Dibuat dari rangkaian lampu neon pula. Yakni "Sri Rajapatni", "Tribhuwanottunggadewi", dan "Dewi Suhita". 

"Sthri artinya perempuan. Sedangkan makuthadara bermakna mahkota. Artinya, perempuan yang mengenakan mahkota. Simbol dari keterwakilan perempuan yang menjadi penguasa, dan mampu membawa kejayaan dan kestabilan Majapahit," ujar Syska.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway