Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (5-habis): Ambil Untung Tipis, Tapi Selalu Standby

Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (5-habis): Ambil Untung Tipis, Tapi Selalu Standby

Layout warung Madura selalu sama. Bagian depan diisi etalase rokok dan beras. Seperti Toko Amelia milik Taufiqurrohman di Desa Keboansikep, Gedangan, Sidoarjo, ini.-Boy Slamet/Harian Disway -

Padahal, warung Madura langganannya berdekatan dengan banyak ritel modern yang juga buka 24 jam. Selain murah, pelayanan di warung Madura juga tak ribet. Meski kadang terjadi antrean, tetapi selalu cepat dilayani penjaga. 

Pembeli juga tak perlu menunggu struk. Sehingga antrean tak sampai mengular. “Yang enak lagi, kan kita nggak perlu bayar parkir,” seloroh lelaki yang karib disapa Agoek itu. 


Aktivitas Rofiki, pemilik warung Madura di Buduran, Sidoarjo, melayani pembeli.-M Azizi Yofiansyah/Harian Disway-

Kesigapan penjaga warung Madura dalam melayani pembeli itu memang sudah menjadi kiat sukses mereka. Salah satunya, dengan tetap standby di balik etalase. Entah berdiri maupun selonjoran di tikar.

“Sepi pun harus tetap siap jaga. Nggak boleh nggak ada orang di sini,” jelas Zainal Abidin pemilik warung Madura dekat Balai Desa Keboansikep, Gedangan, yang berdiri di balik etalase.

Prinsip itu juga ia terapkan untuk karyawannya, Abdul Aziz. Kalau bisa, katanya, penjaga warung kerap nongol di teras warung. Agar memudahkan dan membuat nyaman pembeli dalam setiap transaksi.

BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (1): Bermula dari Jakarta, Menyebar ke Tiap Sudut Kota

Soal harga barang, warung Madura memang semacam punya kesepakatan. Yakni dengan sesama pemilik warung. Ada komunikasi intens di antara mereka melalui grup-grup percakapan.

Bahkan, tak jarang juga menggelar kopi darat. Nongkrong bareng di warung kopi. “Yang dibahas ya itu, harga-harga apa aja yang naik,” terang pria asal Sumenep tersebut.

Sebab, warung Madura punya agen tempat kulakan masing-masing. Dari komunikasi yang intens itulah mereka saling memantau harga-harga barang setiap waktu. Satu sama lain saling telepon hampir tiap tengah malam.

Untuk barang-barang tertentu yang paling laris, mereka sepakat mengambil harga terbawah. Tetapi, tidak sampai merusak harga pasaran. Misalnya, rokok, sabun, hingga mi instan. 

Harga barang-barang itu lebih murah dari ritel modern. Konsekuensinya, mereka harus menerima laba lebih kecil. Dan itu tak masalah. “Prinsipnya, untung kecil tapi lakunya terusan. Nanti kan bisa ditambal dengan harga barang yang lain. Begitu,” ungkap Zainal. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: