Kenapa Mesti tentang Chairil Anwar? (1): Semangat Jiwa Petarung
Chairil Anwar bertemu dengan HB Yasin, Rovai Apin, dan Asrul Sani yang merupakan senior dan sahabatnya sejak masuk Batavia hingga wafatnya. --Rudolf Puspa
JAKARTA, HARIAN DISWAY - Semalam, Sabtu, 25 Mei 2024, di Galeri Indonesia Kaya, berlangsung pentas musikal Aku, Chairil yang dipersembahkan Teater Keliling. Untuk meneruskan langkah-langkah membawa sejarah bangsa Indonesia yang bernuansa sastra.
Saya dan Dolfry Inda Suri -penulis sekaligus sutradara pertunjukan- membuat skrip yang unik. Kami berdua menggambarkan tokoh utama, Chairil Anwar, dengan tanpa dialog sepatah pun. Hanya bahasa tubuh dan bunyi.
Hal ini adalah salah satu cara kami menggambarkan bagaimana pertarungan jiwa Chairil Anwar dalam dunia sastra Indonesia. Bayangkan, pada awal perjalanannya, karya puisinya ditolak penerbit-penerbit sastra di Medan. Inilah yang menambah tekadnya untuk berangkat ke Batavia.
BACA JUGA:Jaranan Mataraman: Identitas Sejarah, Kearifan Lokal, dan Warisan Budaya Tak Benda Desa Sanan
Batavia pada 1943 hingga 1949 menjadi arena keras yang ternyata membawanya ke puncak mahligai kepenyairan Chairil Anwar. Saat itu segala aspek karya puisinya, selain berisikan teriakan, dentuman, hunjaman, tanpa disadari dalam hal tata puisi, dinilai melawan gaya penulisan “sajak” dari angkatan pujangga lama dan baru.
Adegan Chairil Anwar melamar Soemirat ke rumahnya di Madiun. Meskipun sempat dua minggu menginap, lamaran itu ditolak ayah Soemirat. --Rudolf Puspa
Sastrawan senior waktu itu -HB Yasin, Rivai Apin, dan Asrul Sani- justru mendukung aliran deras yang muncul menyembur itu. Mereka ini pula yang menyatakan Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan 45.
Di Batavia, Chairil Anwar pun semakin dekat dengan apa arti perjuangan pemuda dalam merebut kemerdekaan yang dia rasakan. Di kota yang menjadi pusat pemerintahan Belanda dan Jepang. Dua kekuasaan yang merupakan tantangan terbesarnya.
BACA JUGA:Perjuangan Perempuan di Balik Kain, Pameran Wastra Nusantara Koleksi KCBI
Ia semakin kuat menancapkan palu godamnya di Batavia. Memorak-porandakan segala rintangan besar hingga yang terkecil pun. Ia melaju berlari beringas keras tanpa peduli waktu. Terus ”bergerak” yang sejatinya tidak behenti sampai di situ karena ia pun ”menggerakkan” siapa saja melawan penjajahan. Baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri.
Chairil Anwar sendirilah yang menyatakan ia adalah ”binatang jalang dari kumpulannya terbuang”. Artinya ia mendudukkan diri lebih keras. Bahkan lebih ”urakan” dari binatang jalang yang berkumpul. Bukan lagi mendesah tapi menggeram, membakar, dan menantang datangnya desingan peluru hingga tetap meradang, menerjang, hingga hilang pedih perih.
Ia tidak menunggu tapi mendatangi musuh negeri yang paling terbesar. Lewat senjatanya yakni ”pena” ia menuntut menyadarkan bahwa tulang-tulang yang berserakan adalah kepunyaan siapa saja yang masih tegap berdiri tegak. Meneruskan jiwa-jiwa pemberontak yang kini terbaring tak kuat mengangkat senjata serta berteriak “merdeka”.
Inilah peringatan yang terus bergema hingga saat ini. Walau mungkin sudah samar-samar saja kedengarannya dari jauh. Teruskan menjaga Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dalam pengertian perjuangan untuk mendapat kemerdekaan dan kebebasan sebagai bangsa yang kini sudah merdeka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: