Pengembangan Wisata Perang Biak (1): Lanskap Kenangan Pascaperang

Pengembangan Wisata Perang Biak (1): Lanskap Kenangan Pascaperang

Peziarah Jepang yang di antaranya keturunan langsung tentara Jepang yang tewas di Biak memberikan penghormatan dan doa bagi leluhur mereka. --Nethy Darma

Juga alat-alat pribadi tentara seperti tempat tempat minum, ketel, dog-tag (tanda pengenal terbuat dari lempengan logam), seragam. Sisa-sisa perang dan tulang belulang yang kini dikumpulkan di rumah penduduk lokal menjadi objek yang menarik sekaligus memilukan.

Zona Perang

Kunjungan ke zona perang termasuk kegiatan wisata. Urry & Larson (2011) mendefinisikan pariwisata sebagai “kegiatan yang meninggalkan” sementara baik secara fisik maupun metaforis, lingkungan, dan praktik sehari-hari menuju tempat baru untuk mendapatkan pengalaman baru.

BACA JUGA: Hari Anak Korban Perang Diperingati Setiap 4 Juni, Berawal Dari Penderitaan Anak-Anak Palestina dan Lebanon

Kunjungan wisatawan ke zona perang dapat dimaklumi; kajian-kajian pariwisata menyebutnya sebagai post-war tourism (pariwisata pascaperang). Wise (2012) menuturkan bahwa bagi wisatawan, destinasi wisata pascaperang berfungsi sebagai lanskap kenangan dan pendidikan tentang konflik antarmanusia.

Kata Wise, lanskap perang memungkinkan wisatawan berimajinasi tentang masa lalu di tempat aslinya. Pariwisata perang juga disebut dark tourism (pariwisata gelap). 

Menurut Foote (2003), pariwisata gelap menampilkan ingatan akan peristiwa tragis dan memilukan secara langsung. Sharpley & Stone (2009) menambahkan bahwa dark tourism adalah perjalanan ke tempat-tempat yang berhubungan dengan kematian, bencana, dan kehancuran. 

BACA JUGA: Berencana ke Trawas Naik Motor? Ikuti Cara ini Agar Aman dan Selamat


Banyak peziarah Jepang meninggalkan foto atau barang-barang pribadi para tentara Jepang yang tewas di Biak dengan harapan satu saat mereka ditemukan meskipun sudah menjadi tulang belulang. --Evi Arbay

Perjalanan seperti ini termasuk menyambangi berbagai tempat seperti koleksi atau museum yang bertema kematian dan penderitaan, atraksi terkait kematian, pembunuhan dan kekacauan, dan area yang memperingati kematian, ketakutan, atau kengerian. 

Kunjungan ke Biak pasca-perang dimulai pada ’1950an oleh para peziarah keluarga korban tentara Jepang. Mereka tak hanya berziarah, tapi juga mendirikan monumen perang, mengumpulkan dan mengkremasi belulang, dan merepatriasi abu tulang belulang ke Jepang. 

Tak ada informasi tentang keluarga tentara Amerika melakukan hal yang sama. Kunjungan peziarah Jepang kemudian mulai diikuti oleh kunjungan-kunjungan lain yang juga termasuk wisatawan non-anggota keluarga. 

BACA JUGA: Memberantas Anemia Remaja dengan Program Aksi Bergizi

Untuk mendukung kunjungan tersebut, penerbangan internasional diperlukan. Maskapai penerbangan KLM Belanda menjadikan Biak sebagai persinggahan mereka untuk rute Amsterdam-Bangkok-Manila-Biak-Sydney pada 1955.

Rute KLM lainnya adalah Amsterdam-Tokyo-Biak. Kemudian Garuda Indonesia rute Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles. Sebuah hotel bintang empat dibangun pula di Biak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: