Renegosiasi Konflik Bersenjata di Papua

Renegosiasi Konflik Bersenjata di Papua

ILUSTRASI renegosiasi konflik bersenjata di Papua.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Penerbangan Kian Tak Aman di Papua, Pesawat Wings Air Kembali Ditembaki KKB

BACA JUGA: Pesawat Asian One Air Ditembaki di Distrik Beoga Papua, Pilot dan Penumpang Selamat

Pendekatan yang dilakukan Gus Dur dalam persoalan Papua merentang dari pendekatan dialog personal hingga transformasi kelembagaan pemerintahan. Melalui Keppres 173/1999, Gus Dur membebaskan 72 tahanan politik dan memberikan abolisi terhadap 33 kandidat politik Papua. 

Dalam penyelanggaraan Kongres Rakyat Papua (KRP) II untuk membahas pelurusan sejarah Papua dan perjuangan Papua ke depan, Gus Dur memberikan dana Rp 1 miliar. 

Berdasar pengakuan Filep Karma, tokoh sekaligus aktivis Papua waktu itu, menyatakan bahwa pada era Gus Dur  tidak pernah terdengar orang Papua tertembak. Dalam konteks militer, Gus Dur memberikan ruang dialog untuk TPNPB dengan cara berunding di kota. 

Hal tersebut tentu sangat kontradiktif karena TPNPB sering melakukan kontak fisik dan senjata lewat hutan-pedalaman pada era Presiden Soeharto sampai era Presiden Habibie sebagai bentuk perlawanan karena mereka merasa tidak terfasilitasi secara dialog dalam meja perundingan. 

Setelah Gus Dur lengser dari jabatannya sebagai presiden, seolah kondisi kembali seperti sebelum Gus Dur memimpin. Operasi militer lebih digencarkan untuk menekan konflik. Meski otonomi khusus sudah diberlakukan, bayang-bayang untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI terus menghantui. 

DIALOG UNTUK DAMAI

Pemerintah Indonesia melakukan pembangunan secara gencar di banyak wilayah Papua. Salah satunya, membangun jalan trans-Papua. Di sisi lain, pembangunan jalan trans-Papua tidak sepenuhnya diterima masyarakat Papua. 

Masyarakat Papua yang tidak menerima pembangunan jalan trans-Papua menganggap pembangunan itu hanya dinikmati sekelompok masyarakat. Misalnya, pemilik kendaraan maupun pendatang dari luar Papua. 

Logika itu bisa diterima lantaran dibangunnya jalan trans-Papua bisa mempercepat arus distribusi bahan pokok seperti ke kios-kios. Masyarakat asli Papua cenderung tidak menjadi pedagang atau penjual kios yang menjajakan sembako maupun keperluan lainnya, justru pada posisi ini dipegang masyarakat pendatang dari pulau lain. 

Pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas di Papua juga banyak dipandang tidak melibatkan masyarakat asli Papua. Pelibatan masyarakat yang seharusnya menjadi subjek pembangunan dirasa kurang dan berakibat rangkaian teror yang berulang.

Belum lagi pandangan soal pembabatan hutan adat yang kurang dikaji mengakibatkan makin menyusutnya luas wilayah hutan adat di Papua. Tentu pembangunan akan selalu dianggap kurang terasa jika upaya dialogis untuk pelibatan masyarakat sebagai subjek pembangunan tidak dilakukan. 

Terbaru, gelombang protes dilakukan banyak masyarakat Papua karena ancaman deforestasi karena pelepasan hutan adat menjadi area sawit. Media sosial menjadi booming dengan tagar dan story all eyes on Papua yang membuka pandangan masyarakat luar dengan apa yang terjadi di Papua. 

Paling tidak, itu adalah gambaran proyek ambisius tanpa pelibatan masyarakat lokal maupun masyarakat adat yang juga bisa menjadi dasar mengapa banyak masyarakat Papua kecewa dengan pemerintah Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: