Orang Terkenal Menyalip Kader Parpol yang Kompeten dalam Kontestasi Pilkada

Orang Terkenal  Menyalip Kader Parpol yang Kompeten dalam Kontestasi Pilkada

ILUSTRASI orang terkenal menyalip kader parpol yang kompeten dalam kontestasi pilkada.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Golkar Siap Pasangkan Kaesang Dengan Jusuf Hamka di Pilkada Jakarta

PARPOL SEBAGAI PEMUNGUT POLITIK RENTE

Sudah menjadi rahasia umum, untuk dicalonkan oleh parpol tertentu, seseorang harus membayar senilai rupiah tertentu kepada ketua umum. Mahar politik itu diperuntukkan beberapa pos. Misalnya, untuk konsolidasi internal parpol, untuk pemasangan alat peraga kampanye di sejumlah titik, dan untuk pelaksanaan survei. 

Keberadaan mahar politik itu memunculkan kesan parpol sebagai pemungut politik rente. Dahnil Anzar Simanjuntak dalam buku berjudul Nalar Politik Rente (2014) menyatakan bahwa politik bernalar rente merupakan politik yang dibangun oleh watak egoistik, alih-alih altruistik. Politisi lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan umum. 

Dalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, para birokrat dan penguasa politik secara sistematis menggunakan kekuasaannya untuk berbisnis dengan cara ”memengaruhi” setiap pengambilan keputusan dalam berbagai kebijakan. Praktik itu mengakibatkan elite birokrasi maupun politisi memanfaatkan sokongan dana dari para pengusaha. 

BACA JUGA: Menuju Pilkada Serentak 2024, Mendagri Kembali Ingatkan ASN untuk Menjaga Netralitas

BACA JUGA: Rekom Pilkada PDIP di Jatim, Hasto: Diumumkan oleh DPD di Waktu yang Tepat!

Dengan begitu, sering terjadi kasus-kasus kolusi, korupsi, dan nepotisme di berbagai media yang dilakukan para elite politik dan birokrat. 

Politik rente menjadi praktik yang kerap dilakukan parpol menjelang pilkada. Bukan sesuatu yang haram dilakukan memang, tetapi merupakan kebiasaan di parpol. Tidak ada hukum positif yang mengatur hal itu kalau mencuat ke permukaan. 

Secara etika pun, tak ada catatan tegas tentang politik rente. Beragam kode etik politisi maupun parpol rasanya tidak ada yang secara tegas mengatur soal dana yang dimintakan parpol kepada kader, bagaimana batas permintaan dan pengelolaan dana dari kader, bagaimana unsur integritas dan kejujuran berpolitik menjadi landasan dalam proses penggalangan dana tersebut. 

Bahkan, penulis pun kesulitan untuk mencarinya dalam Buku Kode Etik Partai Politik dan Politisi (2016) buatan KPK yang digadang-gadang sebagai naskah kode etik politisi dan partai politik ideal yang merupakan hasil ramuan dari berbagai kode etik yang telah dimiliki beberapa partai politik di Indonesia, kode etik yang dimiliki oleh organisasi advokat dan jurnalis Indonesia, kode etik parpol dan politisi yang ada di sejumlah negara (Inggris, Australia, Jerman, Kanada, India, dan Korea Selatan), yang disertai masukan kalangan akademisi, politisi, aktivis mahasiswa, birokrasi daerah, dan aktivis sosial dan politik.

Jadi, ini sebetulnya merupakan perbuatan yang melanggar kode etik kepartaian, tapi dianggap merupakan kebiasaan oleh parpol tersebut. Jadi, berlaku hukum rimba, TST (tahu sama tahu). Jika perilaku itu yang subur di lapangan, tidak akan menguntungkan bagi perkembangan parpol di tanah air. 

Seseorang bisa menjadi pemimpin sebuah wilayah tanpa masuk lebih dahulu menjadi kader partai tertentu. Secara instan ia bisa melamar ke parpol tertentu dengan konsesi sejumlah uang tertentu untuk membeli persetujuan sebuah parpol atas pencalonan dirinya sebagai kepala daerah. 

AGENDA KE DEPAN

Apa yang harus dilakukan parpol kita sebelum pilkada atau ajang pemilihan lainnya? Parpol harus berani memutus rantai politik rente! Mulailah mengubah kebiasaan mahar politik dalam menentukan kandidat peserta pemilu yang akan diusung. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: