Mengendus Sinyal Positif Penguatan Rupiah dari The Fed

Mengendus Sinyal Positif Penguatan Rupiah dari The Fed

ILUSTRASI mengendus sinyal positif penguatan rupiah dari The Fed.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kedua, biaya utang makin tinggi. Kenaikan suku bunga The Fed memicu biaya pinjaman atau utang dalam bentuk dolar AS menjadi lebih tinggi. Salah satu dampaknya, utang Indonesia dalam bentuk dolar AS bisa makin bengkak. 

Sebab, biaya utang yang lebih tinggi dapat mengurangi aliran kas negara sekaligus membebani APBN. Hal tersebut akan turut memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah. 

Ketiga, memicu inflasi global. Tingkat suku bunga yang lebih tinggi di AS dapat memengaruhi tingkat inflasi global, sebagai akibatnya nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. 

Itu terjadi karena perubahan suku bunga dapat memengaruhi harga komoditas, perdagangan internasional, hingga permintaan terhadap rupiah. Jika inflasi naik, harga barang dan jasa menjadi lebih mahal sehingga dapat memengaruhi daya beli masyarakat. 

Keempat, memicu sentimen pasar global. Keputusan suku bunga The Fed akan memengaruhi sentimen pasar global. Sebab, kondisi ekonomi AS sering kali dianggap sebagai indikator kesehatan ekonomi global. 

Dengan begitu, kenaikan suku bunga The Fed dapat memicu perubahan dalam persepsi potensi pasar dan minat investor global terhadap aset-aset berisiko, termasuk di Indonesia. 

Investor lebih memilih investasi ke aset yang aman seperti dolar AS karena memperolah imbal hasil yang lebih tinggi. Itulah yang menyebabkan aliran modal asing masuk ke pasar AS kian deras dan kebalikannya, kondisi itu membuat rupiah melemah. 

Kelima, mendongkrak cost of fund sehingga makin mahal. Kenaikan suku bunga The Fed juga dapat memicu kenaikan suku bunga di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Hal tersebut membuat biaya pinjaman dari lembaga keuangan menjadi lebih mahal. Akibatnya, beban biaya kredit perumahan, kredit konsumtif, hingga kredit usaha juga naik. Jika terus berlanjut, kondisi itu mendorong minat masyarakat meminjam di lembaga keuangan juga berkurang.

Sinergisitas kuat di kalangan lembaga otoritas moneter, seperti BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang konsisten dalam melakukan monitoring dan intervensi di pasar keuangan, seperti di pasar domestic non deliverable forward (DNDF), pasar spot, SBN, sukuk valas Bank Indonesia (SVBI), sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan sejenisnya, relatif berhasil menjaga ”stamina”. 

Selain itu, memitigasi potensi risiko pelemahan rupiah dari tekanan faktor eksternal dan faktor internal patut diapresiasi. (*)


*) Sukarijanto adalah direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di program S-3 PSDM Universitas Airlangga-Dok Pribadi-

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: