Fenomena 'Pelajar Kosong' di TikTok, Sabrang MDP: Ruang Publik Tak Dilindungi, Bisa Terjadi Kemunduran Generasi

Fenomena 'Pelajar Kosong' di TikTok, Sabrang MDP: Ruang Publik Tak Dilindungi, Bisa Terjadi Kemunduran Generasi

Pegiat Artificial Intelligence Sabrang Mowo Damar Panuluh.-caknun.com-

Bagi Sabrang, definisi pendidikan adalah memberi opsi kepada seseorang agar mereka bisa menentukan sikap sendiri karena paham sebuah konsekuensi. Bukan mencetak seseorang seperti mesin.

Dengan demikian, ilmu bukan pula terbatas hanya pada kemampuan baca, tulis, dan menghitung (calistung). “Itu skill iya, tapi agar mereka punya kemampuan itu bukan dengan dicetak seperti mesin,” terang pegiat artificial intelligence itu.

BACA JUGA:Hari Guru Nasional 2024, Usung Tema Guru Hebat, Indonesia Kuat

Para siswa harus lebih dulu dibuat mengerti tentang kebutuhan mereka sendiri, terutama untuk memecahkan masalah. Sehingga tumbuh motivasi belajar yang kuat. Mereka pun akan belajar tanpa diperintah. 

Kini, kata Sabrang, yang terjadi sebaliknya. Belajar dianggap sebagai sebuah end goal (tujuan akhir, Red), bukan sarana untuk mencapainya. Padahal, end goal setiap manusia berbeda-beda. 

End goal yang mereka ingin tuju sekarang justru membuat mereka merasa bahwa belajar bukan menjadi hal yang penting.

Misalnya, banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi influencer atau youtuber, lalu merasa bahwa pelajaran di sekolah tidak lagi relevan dengan cita-cita.

Apalagi, cita-cita itu juga dipengaruhi apa yang menjadi viral di media sosial. Maka wajar pula bila anak-anak sekarang lebih antusias berjoget untuk konten media sosial. 

BACA JUGA:Resah Politik Uang, Sabrang MDP Bikin Podium2024.id (2-habis): Seleksi Caleg Lewat Fitur “Adu Janji dan Gagasan”

Sebetulnya, imbuh Sabrang, hal itu bisa diantisipasi penyelenggara negara. Yakni dengan mengontrol ruang publik di media sosial itu supaya lebih sehat.

Bila tidak bisa menghentikan kekacauan di ruang publik itu, setidaknya negara lewat kebijakan pendidikan bisa mempersiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi teknologi tersebut. 

“Kita malah loncat ke digital literacy, menurut saya itu bullshit. Seharusnya kan ada digital safety, digital privacy, dan pemaknaan terhadap gadget,” ungkapnya. 

Belum lagi, media sosial itu menggunakan trik dopamin alias hormon “bahagia” di dalam otak.

BACA JUGA:Resah Politik Uang, Sabrang MDP Bikin Podium2024.id (1): Platform AI untuk Mengenal Gagasan Para Kontestan Pemilu 2024

Ya, secara umum, penyebab kecanduan media sosial adalah dopamin otak yang meningkat yang memberikan rasa bahagia setelah seseorang mengakses media sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: