Gereget Pilkada
ILUSTRASI gereget pilkada serentak 2024.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Simak! Ini 3 Jenis Surat Suara di Pilkada 2024, Jangan Sampai Keliru
Karena pengajian kawan saya belum selesai, saya izin berlama-lama di warungnya. ”Rasan-rasannya orang pasar, siapa Bu calon bupati yang akan dipilih warga sini?” tanya saya.
Dengan serius, ia menjawab tidak tahu. Ia juga tidak hafal nama pasangan yang akan bertarung di coblosan 27 November 2024.
Suasana yang sama terjadi di Blitar. Di hari terakhir masa kampanye, saya memang sedang berkunjung di kota tempat jasad Bung Karno itu dimakamkan. Gereget pilkada terasa kurang di daerah itu. Apalagi, ketika ditanyakan kepada sebagian warga di perdesaan.
BACA JUGA:Dari Tanah Suci, Menag Ajak Masyarakat Gunakan Hak Pilih dan Doakan Pilkada Berjalan Lancar
BACA JUGA:Mau Nyoblos ? Begini Cara Cek Lokasi TPS dan DPT Online di Pilkada 2024
Keriuhan dan gereget seakan hanya terjadi di daerah yang menjadi pertarungan para elite politik nasional. Misalnya, Medan, Jawa Tengah, dan Jakarta. Tiga daerah itu seperti menjadi battleground pertarungan antar-mantan presiden dan/atau kelompok penguasa dan non penguasa.
Tapi, betulkah gereget pilkada tahun ini berkurang? Tentu kelak akan bisa dilihat dari tingkat partisipasi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya di tempat coblosan. Apakah masih tinggi atau justru merosot tajam. Apakah warga masih peduli dengan calon pemimpinnya atau tidak?
Yang pasti, menjadi pasangan calon dalam pemilu dalam dekade belakangan memang lebih berat. Kandidat maupun tim suksesnya harus berjuang keras dalam setiap tahapan dalam pemilihan. Mulai mencari suara, mendatangkan suara, hingga menjaga suara.
BACA JUGA:Pesan Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Jelang Pilkada Serentak
BACA JUGA:Surabaya Siap Jaga Keamanan Pilkada, Tenaga Kesehatan Siaga untuk Warga dan Petugas TPS
Bahkan, semua tahapan itu selalu membutuhkan biaya. Untuk kampanye agar pemilih tertarik dengan pasangan, jelas diperlukan biaya. Tapi, setelah tertarik dengan pasangan, mereka belum tentu bisa datang ke tempat coblosan karena pekerjaan atau lainnya. Di sini biasanya juga perlu biaya untuk mendatangkan mereka ke TPS (tempat pemungutan suara).
Setelah suara berada di kotak suara, masih juga perlu dijaga dalam setiap tahap penghitungannya. Apalagi, dalam pemilihan anggota legislatif yang calonnya banyak. Kandidat dan tim suksesnya perlu menjaga dalam tahapan perhitungan agar suaranya tidak hilang atau pindah ke kandidat lainnya.
Itulah yang membuat ”biaya produksi” untuk menjadi seorang pemimpin politik di Indonesia sekarang sangat mahal. Hanya orang-orang yang beruang atau yang punya bandar uang yang akan bisa tampil menjadi pemimpin politik di era yang cenderung transaksional ini.
Barangkali kecenderungan itulah yang membuat gereget pilkada menjadi berkurang. Politik hanyalah gawe kaum elite yang beruang. Tidak menjadi bagian dari pesta rakyat yang ingin mendapatkan pemimpin yang bisa diharapkan bisa memperjuangkan nasib atau memajukan daerahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: