Jebakan Simulakra Deepfake

Jebakan Simulakra Deepfake

Istilah deepfake berasal dari gabungan kata deep learning dan fake, yang merujuk pada metode pembelajaran mesin yang digunakan untuk menciptakan konten tersebut. --iStockphoto

HARIAN DISWAY - Kemajuan dunia digital menampilkan wajah ganda. Di satu sisi bernilai manfaat bagi penggunanya, di sisi lain memberikan dampak buruk. Potret kentara dengan kehadiran media baru (new media) yang dikombinasikan teknologi canggih bernama kecerdasan buatan (AI).

Belakangan ini, kecerdasan buatan dipakai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan bahkan pemalsuan. Berdasarkan catatan penyelenggara sertifikasi elektronik, VIDA, penipuan yang dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan melonjak sebesar 1550 persen pada kasus penipuan deepfake di Indonesia antara tahun 2022 hingga 2023.

Bahkan, belum lama ini, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri berhasil mengungkap penipuan deepfake yang melanggar undang-undang ITE. Publik figur ternama hingga pejabat negara dicatut gambar atau videonya menggunakan deepfake untuk menipu. Beberapa orang jadi korban, artinya masyarakat mengalami kesulitan untuk membedakan apakah video-audio itu asli atau palsu.

BACA JUGA: DeepSeek, Deepfake, dan Deep-insight

Diolah dari berbagai sumber, deepfake adalah salah satu tipe kecerdasan buatan yang digunakan untuk membuat konten visual yang sangat realistis dengan mengubah atau mengganti wajah seseorang dalam video atau gambar. 

Istilah deepfake berasal dari gabungan kata deep learning dan fake, yang merujuk pada metode pembelajaran mesin yang digunakan untuk menciptakan konten tersebut. Deepfake sanggup membuat gambar atau video yang tampak sangat realistis, tetapi sebenarnya itu tidak pernah terjadi.

Pemanfaatan deepfake untuk menipu menyasar pengguna media sosial dan aplikasi percakapan yang bersifat privat. Penggunanya memiliki karakteristik dan pemahaman yang berbeda-beda dalam menangkap informasi yang tersebar di aplikasi tersebut. Kelemahan ini dapat digunakan penipu untuk menyebar jala demi mendapat hasil buruan.
Pemanfaatan deepfake untuk menipu menyasar pengguna media sosial dan aplikasi percakapan yang bersifat privat. --iStockphoto

BACA JUGA: Singapura Sahkan UU Larangan Menggunakan Deepfake AI dalam Proses Pemilu, Bisa Dianggap Pidana

Penipuan teknologi artificial intelligence (AI) deepfake bukan hanya monopoli kejahatan di Indonesia, melainkan sudah ke ranah global. Dengan mesin pencarian yang tersedia, kita bisa mudah mencari berbagai modus kejahatan menggunakan deepfake. 

Deepfake menjadi ancaman global seiring tingginya pengguna internet maupun media sosial di seluruh dunia. Merujuk laporan Digital Global tahun 2024 yang diakses melalui laman datareportal.com, sebanyak 5,56 miliar orang di serluruh dunia menggunakan internet pada awal tahun 2025 atau setara dengan 67,9 persen dari total populasi dunia.

Angka yang mengagumkan ini berarti pengguna internet kini menjadi “mayoritas super”, dengan jumlah orang yang menggunakan internet dua kali lebih banyak daripada yang tidak menggunakannya.

BACA JUGA: Korea Selatan Membuka Penyelidikan Terhadap Kasus Deepfake Telegram

Dari sumber yang sama, kondisi digital Indonesia pada tahun 2024 menyebutkan, terdapat 185,3 juta pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2024, saat penetrasi internet mencapai 66,5 persen. Indonesia menjadi rumah bagi 139 juta pengguna media sosial pada Januari 2024, setara dengan 49,9 persen dari total populasi.

Berdasarkan data tersebut, jumlah pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 117,6 juta pada awal tahun 2024, Facebook Messenger menjangkau 27,75 juta pengguna. Pada periode yang sama, Youtube memiliki 139 juta pengguna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: