Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (9): Paris Rumah Kedua

Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (9): Paris Rumah Kedua

Sekeluarga dolan ke London yang berjarak sejam dari Paris. Tampak Jembatan London. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Rencana kepindahan ke Paris, sebetulnya melalui proses yang cukup panjang. Saya sampaikan ke istri dulu, lalu baru ke anak-anak. Bagi saya ini harus menjadi keputusan bersama.

Seperti halnya dulu saat pindah dari Surabaya ke Singapura sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Singapura. Ada proses diskusi dan tentu saja meminta persetujuan. 

Waktu dari Surabaya ke Singapura, prosesnya cukup cepat karena waktu itu, kami belum lama juga baru pindah dari Perth. Namun, kali ini berbeda. Putri-putri saya sudah punya lingkar pertemanan dekat di Singapura. Berpindah lagi, tentu akan ada rasa yang berbeda pada mereka. 

Namun, kesepakatan dan persetujuan saya dapat, maka pindahlah kami semua. Perlu waktu seharian waktu itu untuk putri saya memberikan persetujuan dan sepakat. Saya lega dan berterima kasih, namun, pikiran tentang bagaimana istri dan dua putri saya—yang tertua sedang duduk di bangku SMA dan yang termuda masih SD—akan beradaptasi di negara yang sama sekali baru ini membuat saya cukup waswas.

BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (3): Tinggalkan PNS Demi Better Job


Kiri atas: Mengajak keluarga ke museum science atau Cité des Sciences et de l'Industrie, museum sains terbesar di Eropa, di Parc de la Villette, Paris. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Hari-hari pertama di Paris kami habiskan dengan berjuang melawan jet lag dan mengatasi culture shock. Dari Singapura yang serba teratur dan nyaman, kami tiba di kota yang meskipun cantik, penuh dengan kekacauan kecil sehari-hari: metro yang padat, birokrasi yang rumit, dan bahasa yang sama sekali asing di telinga kami. 

Ketika saya dan istri mencari sekolah untuk anak-anak, kami benar-benar merasa kebingungan menghadapi sistem pendidikan Prancis yang berbeda jauh dari Singapura. Pertanyaan yang berkelindan di kepala: Apakah mereka bisa mengikuti pelajaran? Apakah mereka bisa cepat beradaptasi dengan bahasa Prancis?

Kurikulum pendidikan di Prancis bersifat terpusat dan dikendalikan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Fokus utamanya pada penguasaan dasar seperti literasi, matematika, sains, dan kewarganegaraan, dengan penekanan pada pemikiran kritis. Pendidikan menengah terbagi menjadi jalur umum, teknologi, dan vokasi yang ketat dan berstandar tinggi.

BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Marisa Tania (6): Engineer Indonesia Menembus Silicon Valley

Anak sulung kami, karena persoalan kurikulum Perancis yang sangat berbeda, baru akan memulai dan mengulang kelas 2 di SMA. Ini pengorbanan besar dari dia buat keputusan kami untuk pindah. Mengulang lagi satu tahun bukan hal mudah, tapi hanya itu pilihan yang ada karena perbedaan sistem pendidikan di kedua negara. 

Kami sepakat dalam satu hal bahwa “we can't have it all”. Bahwa dia bisa mencicipi pengalaman hidup dan sekolah di Prancis yang akan menjadi pengalaman hidup yang tidak semua temannya bisa mengalami. Namun, dia harus rela berkorban tertinggal satu tahun dari teman-temannya di Singapura dan Indonesia dan menjadi bagian dari hampir 500 ribu pelajar asing di Paris.

Sebagai seorang ayah, rasanya pilu sekaligus bangga melihatnya menjalani ini semua. Sementara ini dia fokus pada pelajaran bahasa Prancis dan mengenali ekosistem kota ini.  Perlahan, ia mulai menemukan teman-teman baru yang mendukungnya, bahkan saling membantu dalam belajar bahasa dan budaya baru. 

BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Yunaz Karaman (7): Diskon Bus dan Museum

Sementara itu, putri bungsu kami menjalani hari-hari di sekolah dasar dengan energi khas anak-anak yang membuat saya sedikit lega. Meski ia juga mengalami kesulitan awal dengan bahasa, anak-anak seusianya sepertinya lebih mudah beradaptasi melalui permainan dan aktivitas sehari-hari. Ia mulai sering menyisipkan kata-kata Prancis saat bercakap-cakap di rumah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: i.g.a.k satrya wibawa