One Health, Strategi Gotong Royong Pascapandemi
ILUSTRASI One Health, Strategi Gotong Royong Pascapandemi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Berbeda dengan pandemi yang persebaran penyakitnya berdampak luas secara geografis dan terjadi secara serentak bersamaan, temuan kasus pada endemi bersifat konstan dan dapat diprediksi dengan cakupan area meliputi satu daerah geografis.
William Schaffner, pakar penyakit infeksi dari Vanderbilt University Medical Center di Nashville, memaparkan bahwa setidaknya terdapat tiga alasan status endemi dapat diberlakukan.
Pertama, tingginya imunitas (kekebalan tubuh) masyarakat. Kondisi dapat dilihat melalui angka cakupan vaksinasi Covid-19 masyarakat dan rendahnya kasus Covid-19 baru.
Tidak didapatkannya kasus dalam kluster tertentu juga turut memperkuat poin pertama itu.
Kedua, kemampuan fasilitas dan layanan kesehatan yang adekuat dalam penanganan kasus Covid-19.
Tentunya itu dapat dilihat pada tidak ditemukannya lagi kondisi krisis dan kritis di fasilitas kesehatan dalam penanganan Covid-19, mulai ketidaktersediaan vaksin, tes skrining/diagnosis Covid-19 (seperti tes antigen atau tes PCR Covid-19), obat-obatan, atau bahkan oksigen dan ruang rawat isolasi.
Dampak kolateral dari poin kedua itu adalah kondisi perbaikan pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat.
Ketiga, kemunculan varian-varian virus penyebab Covid-19, severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), yang baru bermanifestasi sebagai penyakit dengan kondisi yang lebih ringan.
Kondisi itu terlepas dari apakah disebabkan kekebalan masyarakat yang sudah terbentuk, varian virus yang menyebabkan perubahan pada virus (mutasi) namun berdampak pada virus menjadi lebih ”lemah” dan tidak mematikan, atau keduanya.
Prof Aris Katzourakis, pakar evolusi virus dan genomik dari University of Oxford, Inggris, menulis artikel di jurnal Nature yang rilis pada 24 Januari 2022 dengan judul Covid-19: endemic doesn’t mean harmless.
Hal senada disampaikan oleh Robert Sinto, pakar penyakit tropis dan infeksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN Cipto Mangunkusumo, pada artikel di jurnal Acta Medica Indonesiana yang terbit November 2022 berjudul Covid-19 pandemic-to-endemic transition in Indonesia: what does the future hold?.
Artikel-artikel tersebut menunjukkan kegelisahan para pakar terhadap miskonsepsi bahwa endemi merupakan akhir dari kondisi berbahaya atau berisiko bahaya.
Terlebih, istilah endemi itu menjadi sebuah excuse bagi pemangku kebijakan di pelbagai negara untuk berbuat sedikit atau bahkan tidak ada aksi yang dilakukan untuk melakukan upaya mitigasi dan penanganan pandemi-endemi.
Malaria mengakibatkan kematian lebih dari 600.000 orang dan 1,5 juta orang meninggal karena tuberkulosis pada 2020. Jelasnya, perubahan status endemi tidak serta-merta mengubah hidup menjadi ”normal” dan in toto terbebas dari Covid-19.
Apakah memungkinkan munculnya kembali pandemi Covid-19? Atau, apakah akan muncul pandemi penyakit baru?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: