Perspektif Hukum terhadap SHM dan SHGB di Laut

ILUSTRASI Perspektif Hukum terhadap SHM dan SHGB di Laut. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:AHY Serahkan SHM ke Masyarakat
Kegiatan pengukuran dan pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi: a. pembuatan peta dasar pendaftaran; b. penetapan batas bidang bidang tanah; c. pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran; d. pembuatan daftar tanah; e. pembuatan surat ukur, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 24 tahun 1997.
Dalam kasus ini, timbul pertanyaan, apa dasar hukum pendaftaran tanah tapi objeknya laut? Bagaimana mekanisme pengumpulan data fisik di kawasan laut?
Ketiga, segala yang ada di wilayah laut merupakan milik umum dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Hal demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, sejatinya mengatur bahwa di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat yang memberikan hak bagi perorangan maupun badan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tersebut mereformasi paradigma lama pengelolaan ruang laut. Sebelumnya berlaku paradigma berbasis hak kebendaan lewat instrumen hak pengusahaan perairan pesisir yang berkonsekuensi dapat dialihkan, dihibahkan, ditukarkan, disertakan sebagai modal perusahaan, dijadikan objek hak tanggungan, bahkan diwariskan.
Dengan demikian, sertifikat kepemilikan hak kebendaan yang terbit setelah dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 3/PUU-VIII/2010 bernilai salah, dan negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan.
Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal tersebut berkorelasi, sejatinya kawasan laut tidak dapat diberikan hak atas tanah bagi perorangan maupun badan hukum.
Keempat, dari perspektif hukum administrasi, BPN sebagai pejabat yang berwenang tidak patuh pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA mengatur bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah, diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Lebih lanjut, Pasal 5 PP Nomor 24 Tahun 1997 menguraikan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
BPN sebagai pejabat pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan, selain menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasar kewenangan yang dimiliki, kiranya juga memiliki hak untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dan b UU Administrasi Pemerintahan.
Adapun dalam penerbitan SHM dan SHGB di kawasan laut tersebut, kiranya BPN melanggar AUPB, utamanya asas kepastian hukum, kecermatan, kepentingan umum, dan ketidakberpihakan.
Kelima, dari perspektif hukum administrasi, SHGB dan SHM yang dapat diklasifikasikan sebagai keputusan tata usaha negara (KTUN) tersebut harus dibatalkan BPN. Berdasar fakta hukum, ternyata SHM dan SHGB di kawasan laut tersebut rata-rata terbit tahun 2022 hingga tahun 2023 sehingga usia sertifikat tersebut masih di bawah lima tahun.
Kondisi itu memudahkan proses pembatalan sertifikat tanpa melalui mekanisme pengadilan. Karena cacat prosedur dan cacat substansi, berdasar PP Nomor 18 Tahun 2021, selama sertifikat belum berusia lima tahun, Kementerian ATR/BPN mempunyai kewenangan untuk mencabut ataupun membatalkan tanpa proses dan perintah dari pengadilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: