Inovasi Buruh Sritex yang Ter-PHK

ILUSTRASI Inovasi Buruh Sritex yang Ter-PHK.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Ketiga, ritualisme. Tetap menjalankan aturan, tetapi tanpa ambisi untuk mencapai tujuan. Orang itu tidak berbuat jahat, tapi juga kurang keras berikhtiar untuk mencapai tujuan. Cenderung ke ritual mistis.
Keempat, retretisme. Tidak berbuat jahat, tapi menarik diri dari masyarakat. Misalnya, menyendiri mabuk-mabukan dengan alat seadanya, mabuk lem, buah kecubung, atau jamur tahi sapi.
Kelima, pemberontakan. Berusaha mengganti norma dan tujuan yang semula dengan tujuan yang baru. Tapi, itu khusus untuk yang bukan tujuan kebutuhan hidup dasar. Sebab, kebutuhan hidup dasar tidak tergantikan.
Merton berpendapat, kelompok masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi atau di-PHK cenderung memilih jalur inovasi (nomor dua). Sebab, cara itu paling cepat memenuhi tujuan hidup.
Ketika terjadi PHK massal, banyak individu yang kehilangan sumber pendapatan. Mereka mengalami tekanan ekonomi yang hebat karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasar. Umumnya orang tergoda melakukan tindak kriminal (inovasi, teori Merton).
Buku itu hingga kini masih relevan. Masih menjadi dasar bagi banyak riset tentang hubungan antara kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas. Juga, bagaimana faktor ekonomi memengaruhi perilaku individu dalam masyarakat.
Beberapa sebab, mengapa teori itu tetap relevan.
Pertama, kesenjangan ekonomi yang kian tajam. Kini kesenjangan ekonomi di banyak negara makin meningkat, membuat akses ke pendidikan dan pekerjaan berkualitas menjadi lebih sulit, karena mahal. Hal itu menciptakan lebih banyak tekanan ekonomi (strain) bagi individu dari kelas bawah.
Kedua, tingkat pengangguran tinggi. Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil (seperti selama pandemi Covid-19), banyak orang kehilangan pekerjaan dan menghadapi tekanan finansial yang besar. Itu mendorong sebagian dari mereka untuk melakukan kejahatan demi bertahan hidup.
Ketiga, tantangan di era digital. Inovasi kriminal juga berkembang di era modern seperti cybercrime, fraud, dan scam online. Banyak individu yang merasa sulit sukses secara sah sehingga memanfaatkan teknologi untuk melakukan kejahatan.
Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa strain theory kurang mempertimbangkan faktor psikologis dan budaya dalam kriminalitas modern.
Oleh karena itu. Muncullah general strain theory (GST) oleh Robert Agnew (1992), yang menambahkan faktor emosional dalam reaksi terhadap tekanan sosial. Dasarnya tetap strain theory.
Teori Merton cocok diterapkan di semua negara. Namun, dampaknya bisa berbeda, bergantung pada kondisi sosial dan ekonomi negara tersebut.
Di negara berkembang dan miskin, teori itu sangat relevan untuk menjelaskan kriminalitas seperti pencurian, perdagangan narkoba, dan kejahatan ekonomi lainnya.
Banyak kejahatan di negara-negara berkembang dan miskin disebabkan kurangnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak. Karena itu, individu memilih jalur ilegal untuk bertahan hidup.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: