Idulfitri 2025, Renungan Mudik Eksistensial

Ilustrasi masyarakat Tiongkok salat Idulfitri. --iStockphoto
MUDIK adalah kultur yang diakrabi masyarakat Indonesia. Kembali kepada diri, kepada kemurnian. Leluhur kita mengajarkan pulang kampung tidak hanya menemui rumah, orang tua, saudara, membersihkan makam, tetapi juga menemui dirimu sendiri. Kata Rumi, ”Sejauh-jauh pengembaraan adalah ke dalam diri”.
Bukan hanya leluhur kita, melainkan para filsuf juga melakukan mudik Lebaran untuk refleksi.
Rumi tak sempat membawa kue kering, tapi ia membawa puisi. Di ruang tamu yang penuh sanak saudara, ia membacakan bait-bait tentang cinta dan kerinduan. Semua mendengarkan meski tak semuanya mengerti, tapi hati mereka menghangat.
BACA JUGA:Warga Gaza Rayakan Idulfitri dengan Luka dan Air Mata
BACA JUGA:Sambut Idulfitri, Menag Ajak Seluruh Masyarakat Indonesia Jaga Spirit Ramadan
”Kita semua sedang dalam perjalanan pulang,” ucapnya. Bahkan, jika rumah itu belum kita temukan. Rumah keabadian tempat jiwa-jiwa damai berlabuh.
Sartre pulang dengan kantong kosong, tapi hati penuh tanya. Ia duduk di teras rumah sambil menatap langit, bertanya kepada dirinya sendiri, ”Apakah aku memilih pulang atau aku hanyalah akibat dari pilihan-pilihan yang tidak kutolak?”
Ibunya menyodorkan ketupat. Sartre pun tersenyum. Sebab, dalam absurditas dunia, ketupat adalah satu dari sedikit hal yang bisa diterima tanpa perlu alasan. Sartre juga tidak perlu banyak alasan untuk memahami makna, historis, filosofis ketupat.
BACA JUGA:Arab Saudi Tetapkan Idulfitri 1446 H Jatuh pada Hari Ini!
BACA JUGA:8 Tradisi Rasulullah Saw dalam Menyambut dan Merayakan Idulfitri
Ya, Sartre tidak mengenal Sunan Kalijaga, filsuf Jawa yang melahirkan ide membuat ”ketupat” sebagai simbol eksistensialisme dan transendental.
Istilah ”ketupat” atau ”kupat” dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari ”ngaku lepat”, yang berarti mengakui kesalahan. Tradisi sungkeman saat Lebaran menjadi implementasi dari konsep itu. Seseorang bersimpuh di hadapan orang tua atau kerabat yang lebih tua untuk memohon ampun.
Nietze tidak membawa oleh-oleh selain kegelisahan. Di meja makan, ketika ditanya ”kapan menikah?”, ia menjawab pelan, ”Manusia unggul tidak tunduk pada kontruksi sosial.” Keluarganya diam, lalu tertawa, menganggap yang disampaikan Nietze adalah komedis dengan selera humor sophisticated.
BACA JUGA:Tradisi Takbir Keliling Jelang Idulfitri Simbol Persatuan Umat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: