Apakah Ramadan Benar-Benar Meninggalkan Kita?

Ramadan pergi, tapi nilai dan cahayanya seharusnya tetap tinggal dalam diri kita.-baramyou0708-
BACA JUGA: Tetap Produktif Berkarya Selama Puasa Ramadan
Ramadan disebut juga sebagai bulan Al-Qur’an, karena wahyu pertama kepada Rasulullah diturunkan Allah Swt melalui malaikat Jibril pada tanggal 17 Ramadan yang diperingati sebagai Nuzulul Qur’an.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 185, Allah Swt berfirman bahwa Ramadan adalah saat diturunkannya petunjuk utama umat Islam, yaitu Al-Qur’an.
Maka tidak heran jika interaksi kita dengan kitab suci ini menjadi semakin intens selama Ramadan, baik membaca, mencermati, mendalami makna, hingga mengamalkannya.
BACA JUGA: Refleksi Ramadan: Berharap Kepemimpinan Indonesia yang Lebih Empatik
Bulan Ramadan diidentikkan juga sebagai kawah candradimuka bagi pribadi yang mengharapkan peningkatan kualitas keimanan. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, pada bagian asrar as-siyam Imam Al-Ghazali mengutip sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud RA yang berbunnyi demikian.
“Sesungguhnya Allah Swt Azza wa Jalla membanggakan seorang pemuda salih kepada para malaikatnya, seraya berfirman “Wahai pemuda yang telah meninggalkan hawa nafsunya demi aku, yang telah menyerahkan masa mudanya bagi-ku, beradalah di sisi-Ku sebagaimana para malaikat-Ku”.
Ramadan: Bulan Keseimbangan Sosial
Interaksi dengan Al-Qur’an selama Ramadan adalah awal perjalanan ruhani yang seharusnya terus hidup.-wing-wing-
Lebih dari sekedar itu, puasa adalah ibadah yang amat pribadi dalam hubungan antara makhluk dan Sang Khalik (Hablum Minallah). Dalam hadis Qudsi disebutkan, "Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya".
BACA JUGA: Ramadan, Momentum Menahan Diri dari Pinjol
Memaknai tafsir ini, Imam Al-Ghazali membagi puasa menjadi tiga tingkatan: Pertama, Puasa Awam – menjalankan kewajiban berpuasa hanya untuk menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Kedua, Puasa Khusus – berpuasa hanya untuk menjaga seluruh anggota tubuh dari dosa.
Ketiga, Puasa Khusus Wal-Khusus – berpuasa dengan maksud untuk memfokuskan hati hanya kepada Allah Swt, menjauh dari segala hal duniawi. Puasa pada level tertinggi ini membentuk pribadi yang lembut, penuh dzikir, dan selalu rindu akan kedekatan dengan Allah Swt.
Ramadan bukan hanya tentang hubungan vertikal, tapi juga horizontal antar sesama manusia (Hablum Minannas). Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: "Bukanlah sifat seorang mukmin ketika dia kenyang sementara tetangganya kelaparan." (HR. Thabrani).
BACA JUGA: Ramadan, Momentum untuk Melawan Darurat Korupsi
Sedekah kepada tetangga yang membutuhkan, infak ke majelis-majelis ilmu dan dzikir, maupun zakat sebagai penyuci diri merupakan bentuk perbuatan dan perilaku yang menyeimbangkan kondisi sosial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: