Generasi Z dan Krisis Makna: Hidup dalam Pusaran Scroll Tak Berujung

Generasi Z dan Krisis Makna: Hidup dalam Pusaran Scroll Tak Berujung

Generasi Z tenggelam dalam budaya scroll tanpa henti, kehilangan makna hidup di tengah konsumsi konten instan yang memabukkan dan melelahkan. --iStockphoto

Menurut penelitian yang dilakukan di Flinders University, paparan berlebihan terhadap konten digital pada kelompok usia Gen Z menyebabkan peningkatan risiko kondisi kesehatan mental seperti kecemasan sosial, depresi, dan masalah tidur.
Talker Research pada akhir 2024 menyebutkan bahwa Generasi Z paling sering menggunakan platform media sosial, 81 persen dari mereka lebih sering mengakses Instagram, 70 persen TikTok, dan 69 persen YouTube. --iStockphoto

Lebih dari sekedar hiburan, saat ini media sosial menjadi sumber tekanan tersendiri bagi Gen Z, yang memperkuat kebutuhan akan validasi digital. Gen Z sering dipaksa untuk terus terhubung ke internet agar tidak ketinggalan informasi, yang dikenal sebagai FOMO atau fear of missing out. 

Ironisnya, meskipun banyak dari Gen Z yang mulai menyadari akan dampak buruk dari doomscrolling terhadap kesehatan mental, kebiasaan tersebut tetap sulit untuk dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya digital telah menjadi sebuah candu modern yang tidak kasat mata, menarik, membius, dan diam-diam juga dapat menghancurkan. 

BACA JUGA: Mengatasi FOMO di Musim Liburan bagi Anda yang di Rumah Saja

Krisis Makna dan Budaya Instan 

Generasi Z menghadapi krisis makna di tengah arus informasi yang begitu deras. Generasi yang sangat responsif tetapi kurang reflektif telah dihasilkan oleh budaya instan yang dibentuk oleh konten pendek, judul yang bombastis, dan reaksi cepat. Semua hal saat ini tersedia dalam hitungan detik, tetapi semakin sedikit waktu yang dihabiskan untuk mempertimbangkan apa arti dari semua yang dikonsumsi.

Konten yang instan dan singkat, seperti yang dapat ditemukan di Instagram Reels dan TikTok, telah mendorong otak kita untuk mengejar kepuasan sementara, menghilangkan kemampuan kita untuk berpikir mendalam dan berkonsentrasi dalam jangka panjang.

Yang lebih mencengangkan lagi, gagasan tentang pembelajaran dan pengembangan diri telah berubah menjadi barang yang dikemas dalam soundbite 15 detik. Pertanyaan seperti "Apa yang benar-benar penting?" atau "Apa tujuan saya?" menjadi asing dan jauh ketika hidup direduksi menjadi rangkaian cerita 15 detik, dan ketika perhatian kita difokuskan pada tren yang berubah setiap minggunya.

BACA JUGA: Dari Hustle ke Soft Living, Transformasi Gaya Hidup Gen Z

Meskipun makna tidak lagi ditemukan melalui proses atau perjalanan panjang, saat ini makna dicari melalui validasi instan, yaitu melalui jumlah like, view, atau komentar pada suatu konten. Saat ini kita terlatih untuk mencari dengan cepat, bukan dengan lebih dalam. Tentu hal tersebut menyebabkan kesadaran dalam diri mulai tergerus.

Generasi Z tumbuh dalam dunia yang terus membombardir dengan standar kesuksesan, kebahagiaan, dan segala bentuk pencapaian yang saat ini ramai dibungkus rapi dalam bentuk estetika visual. Saat ini banyak orang yang terjebak dalam pencitraan daripada mengenali diri mereka sendiri. Mereka sibuk menjadi, akan tetapi mereka juga lupa menjadi siapa.

Solusi Kecil dari Gen Z untuk Gen Z

Di tengah pusaran scroll yang tak berujung, benih resistensi dalam diri Gen Z mulai tumbuh. Sebagian anak muda mulai menyadari bahwa ritme cepat dan konten singkat tidak selamanya dapat mendefinisikan hidup.

BACA JUGA: Apa Itu Jam Koma? Istilah Baru Gen Z yang Viral di Media Sosial

Mereka mulai mencari makna melalui metode yang lebih pribadi, seperti menulis jurnal harian, membatasi waktu layar, membuat ruang kosong, atau sekadar berjalan kaki tanpa membawa ponsel. Upaya yang dapat kita lakukan untuk mengambil kembali kendali atas perhatian dan kesadaran adalah dengan gerakan digital detox, slow content, dan komunitas berbasis pertemuan langsung.

Dengan itu Gen Z mulai memiliki ruang untuk bertahan lama dalam dunia yang serba cepat seperti sekarang ini, untuk berpikir di tengah kebisingan informasi, dan untuk bertanya saat semua orang sibuk mencari jawaban.

Mungkin, di tengah dunia yang sibuk dengan terus menggulir tanpa henti ini, makna justru dapat ditemukan dalam bentuk keberanian untuk berhenti sejenak. Berhenti bukan berarti untuk menghindar dari dunia, akan tetapi untuk kembali mengenali diri sendiri di tengah bisingnya suara-suara yang ada saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: