Seni Instalasi Jompet Kuswidananto di Artjog 2025 Surabaya, Ungkap Sejarah Industri Gula di Jawa yang Tragis

Makna Seni Instalasi di Artjog 2025 Surabaya, mengungkap sejarah industri gula di Jawa yang tragis. - Boy Slamet - Harian Disway
Kesenjangan tersebut tak hanya melahirkan cerita masa lalu. Tetapi juga persilangan budaya yang kompleks. Misalnya, musik keroncong, gelombang industrialisasi, sampai perkembangan ideologi.
Apabila melihat sebuah karya seni yang berkaitan dengan pabrik gula, orang yang datang ke pameran itu mungkin akan mengingat kembali tentang tragisnya peristiwa tanam paksa pada masa lalu.
BACA JUGA:ARTSUBS dan Pable Indonesia Gelar Workshop Kerajinan Tas Makrame dari Tali Daur Ulang
Cerita Artjog 2025 di Tunjungan Surabaya, perpaduan seni dan sejarah industri gula di Jawa yang tragis. - Ilmi Bening - Harian Disway
Belanda sengaja menyusun kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) untuk mendapatkan keuntungan dari negeri jajahannya.
Kebijakan tanam paksa di wilayah Jawa yang dibuat oleh Van Den Bosch itu memang telah mendapatkan persetujuan dari Raja Willem I pada 1830.
Pada masa itu, tebu telah menjadi tumbuhan wajib yang harus ditanam dan diperluas area perkebunannya sampai ke daerah Pantai Utara Jawa, seperti Pasuruan dan Surabaya.
BACA JUGA:ARTSUBS Gelar Workshop Seni Keramik, Ajak Peserta Nikmati Proses Berkesenian Tanah Liat
Adanya produksi tebu yang meningkat, membuat Belanda semakin untung. Sementara itu, banyak rakyat Indonesia yang menderita akibat kebijakan tersebut.
Sebab, organisasi dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistem monopoli.
Dengan menerapkan sistem monopoli, Belanda bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Mereka menyuruh masyarakat lokal untuk terus meningkatkan hasil produksi dan menetapkan harga beli secara sewenang-wenang.
Para petani bertugas mengumpulkan hasil panen ke sebuah gudang yang merupakan milik Belanda dan mendapatkan upah sesuai dengan kewenangan Belanda.
Upah tersebut lalu dipakai untuk membayar pajak ke pemerintah Belanda. Mirisnya, meski mendapatkan upah dari hasil kerja keras mereka, tetap saja upahnya tidak pernah cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sistem itu hanya bertujuan untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia.
Jadi, tidak heran kalau ada banyak bangunan bekas pabrik gula dari zaman Belanda yang masih ada sampai saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: