Umat Katolik Dari Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya Beri Penghormatan Terakhir untuk Paus Fransiskus

Misa Oktaf sebagai penghormatan terakhir umat Katolik pada mendiang Paus Fransiskus. --HARIAN DISWAY
SURABAYA, HARIAN DISWAY – Di tengah aroma dupa yang perlahan menguap di langit-langit Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, sekitar 300 umat Katolik larut dalam keheningan.
Bukan keheningan duka, melainkan ketenangan yang menyampaikan syukur. Paus Fransiskus telah berpulang. Tapi warisan semangatnya masih berdenyut di dada mereka yang hadir dalam misa Oktaf Paskah khusus itu, Selasa 22 April 2025.
Paus bukan hanya pemimpin Gereja Katolik sedunia. Ia adalah sosok yang merangkul, bahkan kepada yang berbeda keyakinan. “Agama bukan pagar pembatas, tapi penghubung satu dengan yang lain,” ujar Mgr. Tri Budi Utomo atau Monsinyur Didik Uskup Surabaya, dalam kotbahnya malam itu.
Misa malam itu menjadi penghormatan terakhir dari Keuskupan Surabaya bagi pemimpin tertinggi umat Katolik yang dikenal murah senyum dan penuh belarasa.
BACA JUGA:Umat Lintas Agama Berdoa untuk Paus Fransiskus
BACA JUGA:10 Prestasi Terbesar Paus Fransiskus
Monsinyur Didik ungkapkan Paus Fransiskus adalah sosok pemimpin rendah hati dan sederhana. --HARIAN DISWAY
Seperti yang diberitakan oleh kantor Pers Tahta Suci Vatikan, Paus Fransiskus menghembuskan napas terakhir pada pukul 07.35 waktu Roma, Senin, 21 April 2025. Ia wafat karena komplikasi beberapa penyakit yang telah lama dideritanya.
Namun bahkan dalam sakit, senyumnya tak pernah pudar. Saat berkunjung ke Indonesia, 3–6 September 2024 lalu, Paus menolak perlakuan istimewa. Ia hadir bukan sebagai kepala negara, melainkan sebagai gembala.
Ia ingin menjumpai semua orang—dari pejabat tinggi hingga anak-anak kecil di sudut kota. Dalam kesederhanaan, Paus Fransiskus menyentuh hati banyak orang.
Yang tak bisa dilupakan, tentu kunjungannya ke Masjid Istiqlal. Di sana, ia memuji tempat ibadah itu bukan hanya sebagai simbol keberagaman, tapi juga dialog. Ia bahkan menyebut arsiteknya, Fredrich Silaban—seorang Kristen—sebagai wujud nyata harmoni bangsa.
BACA JUGA:Kisah Paus Fransiskus Menjawab Pertanyaan Emanuele: Apakah Ayahnya yang Ateis Ada di Surga?
BACA JUGA:Paus Fransiskus, Paus Penuh Belas Kasih
“Masjid ini menjadi ruang dialog, tempat saling menghormati dan hidup bersama dengan damai,” kata Paus dalam pidatonya yang kini menjadi pengingat akan pentingnya hidup berdampingan dalam damai.
Hal ini pula yang disinggung Mosinyur Didik dalam misa malam itu. Ia menyambut baik kehadiran para tokoh lintas agama yang turut hadir memberi doa dan penghormatan. “Mereka bukan hanya hadir sebagai wakil agama masing-masing, tapi sebagai jembatan yang menyatukan,” katanya.
Dalam suasana yang hangat, para pemuka agama duduk berdampingan. Tak ada sekat. Tak ada mimbar yang lebih tinggi dari yang lain. Semua larut dalam satu niat: mengenang pemimpin dunia yang semasa hidupnya menolak sekat-sekat itu.
Doa lintas iman pun dinaikkan bersama. Sebuah refleksi yang bukan hanya untuk Paus Fransiskus, tetapi untuk generasi yang akan datang: bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan.
BACA JUGA:Rencana Kanonisasi Carlo Acutis Ditunda Setelah Wafatnya Paus Fransiskus
Di tengah-tengah hiruk pikuk dunia yang sering kali terpecah oleh perbedaan, malam itu di Surabaya menjadi saksi. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, dan kebersamaan masih mungkin dirayakan. Bahwa seorang Paus pun, meski telah tiada, masih mampu mempertemukan hati-hati yang berbeda.
Dan mungkin, itulah warisan sejati dari Paus Fransiskus: menjadikan agama sebagai jembatan, bukan pagar. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: