Seni Instalasi Chandelier di ARTJOG 2025, Cerminkan Harapan Rakyat Indonesia dalam Remuknya Demokrasi

Seni Instalasi Chandelier di ARTJOG 2025, Cerminkan Harapan Rakyat Indonesia dalam Remuknya Demokrasi

Seni instalasi chandelier di Artjog 2025, cerminkan harapan rakyat Indonesia dalam remuknya demokrasi. - Boy Slamet - Harian Disway

Tertulis di atas kertas putih mengenai sejarah demokrasi yang telah hancur berkeping-keping akibat kalangan penjajah yang bertindak semena-mena. Berikut cuplikan tulisan tersebut:


Seni instalasi chandelier di Artjog 2025 yang bersebelahan dengan penampilan video perjuangan bangsa Indonesia dan musik keroncong. - Ilmi Bening - Harian Disway

Dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa, mistisisme kerap hadir sebagai kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan resistensi. Pada pemberontakan kaum petani di Banten pada tahun 1888, misalnya, para pemberontak tidak hanya mengangkat senjata, tetapi juga menghancurkan lampu-lampu kristal di rumah residen Belanda — sebuah gestur simbolik yang menandai penolakan terhadap terang yang dibawa oleh Barat dan kekuasaan modernitas kolonial.  

Tindakan menghancurkan chandelier itu menyerupai opera perlawanan yang mistik sekaligus teatrikal: menghancurkan cahaya sebagai bentuk penolakan terhadap tatanan dunia yang dipaksakan, sekaligus menyalakan kembali nyala api dari dunia lama yang tersingkirkan. Hari ini, bayangan chandelier yang pecah berkeping-keping muncul kembali sebagai metafora dari demokrasi yang remuk—broken democracy—yang tidak lagi memancarkan harapan, melainkan hanya pantulan retak dari janji-janji negara yang gagal ditepati. Kekuatan oligarki berdiri di balik tirai cahaya palsu, sementara rakyat, yang telah lama menunggu, mulai merangsek ke ambang pintu kekuasaan. 

BACA JUGA: Resmi Ditutup Tisna Sanjaya, Animo Masyarakat pada ARTJOG 2024 Meningkat Dibandingkan Tahun Lalu

Kalau pengunjung yang datang ke ARTJOG 2025 bisa melihat kembali ke masa pemberontakan kaum petani di Banten pada 1888, ada banyak ketidakadilan terhadap kaum yang tak punya kuasa. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak masuk akal membuat banyak rakyat Indonesia menjadi sengsara.  

Pemberontakan itu muncul ketika penduduk Serang dan Banten mengalami musibah besar. Sulitnya mendapatkan bahan pangan, wabah penyakit menular yang menjangkit hewan-hewan ternak, serta gagal panen akibat musim kemarau berkepanjangan mempersulit kehidupan penduduk.  

Dalam upaya mengatasi krisis itu, Belanda membuat kebijakan seenaknya, seperti memusnahkan seluruh hewan ternak yang sehat maupun sakit di kawasan tersebut.

Padahal, hewan ternak tersebut adalah sumber mata pencaharian bagi penduduk Banten. Setelah gagal panen, pemerintah Belanda tidak membantu masyarakat mendapatkan solusi. Tetapi, malah membuat mereka semakin sengsara.  

BACA JUGA: ARTJOG 2024 Berakhir Besok 1 September 2024, Ribuan Pengunjung Puas Berinteraksi dengan Karya Seni Pilihan

Pemusnahan hewan ternak dalam skala besar membuat seluruhnya tak dapat terkubur dengan baik. Bangkainya berserakan di mana-mana dan menyebabkan munculnya penyakit baru yang menjangkit seluruh penduduk.

Tidak berhenti sampai di situ. Meletusnya Gunung Krakatau kala itu membuat penderitaan penduduk bertambah parah karena memakan banyak korban jiwa. 

Pemerintahan kolonial Belanda tak henti-hentinya menyusahkan penduduk dengan memungut berbagai macam pajak yang memberatkan. Penduduk harus membayar pajak pertanian, pajak perdagangan, perahu, pasar, serta jiwa. Layaknya preman, tetapi kelas elit. 


Buku pemberontakan petani Banten pada 1888. - @warungsejarahri - Instagram

Karena penduduk pada waktu itu tak bisa mendapatkan keadilan dan harus menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi, mereka mulai percaya dengan takhayul. Kemudian, melakukan ritual sihir dengan menaruh sesajen di pohon kepuh besar agar seluruh bencana buruk segera musnah.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: