Menata Ulang Kepercayaan, Menjemput Perubahan

Menata Ulang Kepercayaan, Menjemput Perubahan

ILUSTRASI Menata Ulang Kepercayaan, Menjemput Perubahan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

SETIAP PEMIMPIN pasti diuji. Kadang ujiannya datang satu per satu. Tapi, ada pula yang datang bersamaan –berlapis dan bertubi-tubi. Jawa Timur sedang berada di fase itu. Dari kisruh Bank Jatim, dugaan penyimpangan dana hibah, hingga sorotan ke dinas pendidikan. Ibarat kapal besar, ombaknya sedang tinggi. Tak mudah. 

Namun, justru di masa-masa itulah, mutu sebuah kepemimpinan diuji, bukan hanya oleh prestasi, melainkan juga oleh keteguhan memegang arah.

Uniknya, gubernur Jawa Timur bukan tipe pemimpin yang diam. Dia pernah jadi pionir dalam birokrasi digital. Gaya komunikasinya pernah viral. Bahkan, sempat dicontoh banyak daerah. 

Namun, zaman berubah. Warganet juga berubah. Dulu cukup unggahan seremonial, sekarang orang mencari cerita yang menyentuh. Bukan hanya dokumentasi kegiatan, melainkan juga empati. Tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga terasa secara batin.

Ketika provinsi lain seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah menghapus tunggakan pajak kendaraan bermotor, muncul komentar: ”Jatim mana?” 

Padahal, lima tahun lalu Jatim sudah lebih dulu melakukannya. Tapi, tidak dikemas dengan narasi yang viral. Tidak ada video sinematik. Tidak ada musik latar dramatis.

Padahal, keputusan itu diambil dengan perhitungan fiskal yang matang. Bukan karena ikut tren. Sebab, struktur fiskal tiap daerah berbeda. Di Jatim 70–75 persen pendapatan asli daerah berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama. 

Menghapusnya berarti memangkas nyawa anggaran untuk layanan dasar –pendidikan, kesehatan, bantuan sosial. Populis memang menggoda. Tapi, jika tidak disiapkan, itu bisa menjadi bumerang.

Masalahnya, di era media sosial hari ini, yang viral lebih cepat dipercaya ketimbang yang faktual. Capaian Jatim dalam peningkatan IPM, UMKM, digitalisasi pelayanan, dan pendidikan vokasi seolah tenggelam oleh satu dua kalimat nyinyir. 

Bahkan, inisiatif untuk kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas pun sering luput dari perhatian.

Di sinilah pentingnya membangun ulang kepercayaan –¬dengan bahasa baru. Tidak sekadar menyampaikan, tetapi juga menyentuh. Tidak hanya menjelaskan, tetapi juga mendengar. Bukan lagi tentang siapa bicara paling keras, melainkan siapa yang paling bisa dipercaya.

Langkah-langkah strategis seperti memperkuat kanal informasi resmi, membentuk tim respons cepat terhadap isu viral, serta membuka ruang pengawasan publik harus segera dihidupkan. Sebab, hari ini komunikasi bukan lagi pelengkap. Ia sudah jadi tulang punggung legitimasi.

Tentu, reformasi birokrasi tidak bisa selesai dalam semalam. Tapi, bisa dimulai dari hal yang paling dasar: keteladanan. Menindak pelanggaran secara tegas. Mengapresiasi kerja jujur. 

Membersihkan sisa-sisa kultur lama yang membuat pelayanan publik terasa lambat dan berbelit. Sebab, kadang birokrasi bukan buruk karena niat jahat. Melainkan, karena cara kerja yang belum berubah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: