Makna Terpilihnya Paus: Refleksi bagi Para Pemimpin Indonesia

ILUSTRASI Makna Terpilihnya Paus: Refleksi bagi Para Pemimpin Indonesia .-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Hal itu pernah dikatakan Paus Fransiskus, ”menjadi paus bukanlah sebuah cita-cita” dan ditegaskan pula oleh Kardinal Ignatius Suharyo asal Indonesia bahwa orang yang bercita-cita sebagai paus justru bukanlah orang yang bijak.
”Kalau orang bercita-cita menjadi paus, maaf ya, itu bodoh,” katanya.
REFLEKSI
Setelah seorang kardinal terpilih menjadi paus dalam proses konklaf, ia tidak langsung menuju balkon dan menyapa umat sedunia, tetapi berjalan menuju sebuah ruangan kecil tersembunyi dalam Kapel Sistina.
Ruangan itu dikenal sebagai Ruang Air Mata. Di ruangan itulah jubah kebesaran paus telah disediakan, tetapi di ruangan itu pula begitu banyak air mata yang tumpah.
Tangisan tersebut bukan tanda kebahagiaan, bukan juga kelemahan, melainkan kesadaran bahwa amanah yang diemban di pundaknya sebagai pemimpin umat Katolik sedunia begitu dahsyat.
Kesadaran bahwa kekuasaan sejati bukanlah takhta, tetapi taklif. Bukan sebuah kehormatan juga, melainkan beban pertanggungjawaban. Ketika seorang pemimpin memahami jabatannya sebagai amanah, di titik itulah ia pantas untuk memimpin dan memikul tanggung jawab.
Terpilihnya paus tidak hanya menjadi momen penting bagi umat Katolik di seluruh dunia, tetapi juga semestinya dijadikan sebagai refleksi mendalam bagi para pemimpin, termasuk para pemegang kekuasaan di Indonesia.
Proses pemilihan paus yang penuh dengan kehormatan, kehikmatan, dan tanggung jawab spiritual yang tinggi memberikan pelajaran bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan sekadar jabatan.
Kesadaran dan makna yang terkandung dalam proses tersebut seharusnya menjadi cermin bagi para pemimpin negeri ini agar tidak mudah tergoda oleh kepentingan pribadi dan oligarki.
Di Indonesia tidak jarang kita menyaksikan jabatan kepemimpinan disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Juga, mengabaikan suara rakyat yang sesungguhnya menjadi dasar legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Akibatnya, rakyat sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan, hidup dalam kesengsaraan, kesenjangan sosial yang tajam, dan merasa tidak didengar aspirasinya. Pemimpin yang sejati seharusnya hadir sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa yang menindas.
Apa gunanya sebuah kekuasaan apabila justru menyengsarakan rakyat yang dipimpinnya? Dalam konteks ini, Indonesia perlu becermin dari semangat moral dan tanggung jawab.
Kepemimpinan seperti yang tecermin dalam terpilihnya seorang paus. Kepemimpinan ideal tidak sekadar mampu memerintah, tetapi juga harus mampu mengayomi, melindungi, dan menyejahterakan rakyatnya.
Hanya dengan cara itulah Indonesia dapat menjadi negara yang benar-benar berdaulat atas nama rakyat dan bukan atas nama kekuasaan semata. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: