Ekonomi Indonesia jika Konflik India-Pakistan Berlanjut

Ekonomi Indonesia jika Konflik India-Pakistan Berlanjut

ILUSTRASI Ekonomi Indonesia jika Konflik India-Pakistan Berlanjut.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dengan demikian, konflik yang meletus di kedua negara yang bertetangga itu bakal mendorong penurunan permintaan sehingga menimbulkan kerugian cukup signifikan.

Per Maret 2025, penurunan ekspor batu bara ke India telah menunjukkan tren negatif yang signifikan. Hal itu jelas merupakan sinyal tekanan terhadap neraca dagang Indonesia yang sangat urgen dan perlu disikapi dengan serius oleh pemerintah. 

Pentingnya diversifikasi pasar ekspor bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu perlu ditindaklanjuti dengan pencarian peluang pasar baru dan strategi pemasaran yang lebih agresif. 

Langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif konflik itu terhadap sektor pertambangan dan perkebunan juga perlu dipertimbangkan. Diversifikasi pasar ekspor, peningkatan kualitas produk, dan promosi yang lebih gencar menjadi beberapa langkah yang dapat diambil. 

Hal yang patut dicermati adalah meletupnya konflik India-Pakistan itu tidak hanya membawa konsekuensi perlambatan ekonomi di kawasan regional Asia Selatan, tetapi juga berpotensi mengganggu jalur pelayaran penting di Laut Arab dan Selat Hormuz. 

Gangguan tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya logistik dan harga barang ekspor-impor dari dan ke Indonesia. Kenaikan biaya pengiriman barang akan berdampak pada inflasi dan nilai tukar rupiah. 

Peningkatan biaya logistik akan membebani pelaku usaha di dalam negeri, terutama sektor importir. Hal itu akan berdampak pada harga barang di pasaran dan berpotensi memicu inflasi. 

Pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah antisipatif guna mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

AS, Tiongkok, India, dan Pakistan merupakan pasar ekspor batu bara Indonesia. Empat negara saat ini saling terlibat ”konflik”. AS-Tiongkok berseteru yang dipicu masalah pemberlakukan tarif timbal balik Donald Trump. 

Akan tetapi, di balik konflik AS-Tiongkok, ada secercah harapan bagi keran ekspor batu bara ke AS cenderung meningkat. ”Berkah” positif itu merupakan konsekuensi kebijakan domestik Trump yang telah mengumumkan bakal meningkatkan produksi listrik dari bahan bakar fosil. 

Meski volumenya tidak besar, kabar menggembirakan itu menjadi angin segar bagi pelaku industri pertambangan batu bara di tanah air seusai gempuran beban-beban yang harus dipikul penambang, menyusul bakal berlakunya kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara. 

Berdasar data terbaru dari Energy Information Administration (EIA) AS yang dirilis pada Februari 2025, produksi batu bara AS dalam periode Januari–September 2024 mencapai 384.131 ton. 

Angka itu mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023, yang mencatat produksi sebesar 437.122 ton. Secara keseluruhan, produksi batu bara AS sepanjang 2023 mencapai 577.954 ton. 

Kondisi geopolitik Asia Pasifik yang tensinya panas belakangan ini harus menjadi fokus perhatian pemerintah, terutama dalam mempertahankan kestabilan neraca dagang yang secara langsung berefek pada penguatan cadangan devisa, yang merupakan salah satu elemen penting untuk mempertahankan resiliensi mata uang rupiah. (*)

*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di school of leadership Universitas Airlangga. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: