Perang Dagang dan Keamanan Nasional Tiongkok

ILUSTRASI Perang Dagang dan Keamanan Nasional Tiongkok.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PERANG DAGANG Tiongkok verus Amerika Serikat begitu dramatis sehingga memenuhi berbagai laman berita baru-baru ini. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, keduanya saling menunjukkan ketegasan terhadap pemberian tarif.
Ketika Amerika Serikat yang saat ini dipimpin Donald Trump menaikkan tarif 10 persen terhadap semua barang impor dari Tiongkok, Negeri Panda itu kemudian merespons dengan kenaikan tarif sebesar 15 persen terhadap barang impor Amerika Serikat.
Tidak berselang lama, Amerika Serikat pun merespons dengan dalil melindungi dari ”pencurian” Tiongkok sehingga tarif dinaikkan menjadi 34 persen. Tentu, pemerintah Tiongkok tidak tinggal diam dan membalas dengan kenaikan tarif sebesar 34 persen.
BACA JUGA:Perang Dagang dan Momentum UMKM Indonesia
BACA JUGA:Ford Hentikan Ekspor Sejumlah Mobil ke Tiongkok Akibat Tarif Perang Dagang
Lalu, pada 8 April 2025, Trump meningkatkan kembali tarif menjadi 84 persen dan menganggap itu sebagai suatu ancaman bagi Amerika Serikat, yang mana sebelumnya terdapat bea masuk tambahan sebesar 20 persen sehingga total tarif mencapai 104 persen.
Kemudian, Trump meningkatkan kembali tarif atas barang-barang Tiongkok sebesar 145 persen. Tiongkok pun kembali merespons dengan menetapkan tarif sebesar 125 persen dan menanggapi dengan serius atas perilaku Trump bahwa kondisi itu merupakan kondisi genting.
Hingga kemudian, pada 16 April 2025, Amerika Serikat membalas persaingan tarif mencapai angka 245 persen atas barang impor dari Tiongkok.
BACA JUGA:Perang Dagang Masih Panas, AS Masih Buka Pintu Negosiasi dengan Tiongkok
BACA JUGA:Sebut Xi Jinping 'Kawan Lama', Trump Kirim Sinyal Damai di Tengah Perang Dagang?
Kondisi perang dagang yang makin panas itu pernah terjadi pada periode pertama Presiden Trump terpilih (2017–2021) dengan memberikan 30 persen tarif terhadap barang impor panel surya kepada Tiongkok sebagai pemasok utama.
Sebuah artikel yang pernah dimuat South China Morning Post pada 2020, Amerika Serikat kala itu merasa dicurangi Tiongkok melalui praktik perdagangan yang tidak adil sehingga menyebabkan defisit perdagangan sebesar USD 375,6 miliar pada 2017.
Banyak perusahaan Amerika Serikat yang berada di Tiongkok merasa dirugikan, sedangkan perusahaan Tiongkok mengalami keuntungan dengan menerima subsidi sehingga kondisi itu menyebabkan persaingan dagang makin tidak sehat.
BACA JUGA:Harga Emas Dunia Naik 3% di Tengah Gejolak Perang Dagang AS-Tiongkok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: