Jet Tiongkok Tembak Jatuh Rafale, Indonesia Harus Belajar

Jet Tiongkok Tembak Jatuh Rafale, Indonesia Harus Belajar

ILUSTRASI Jet Tiongkok Tembak Jatuh Rafale, Indonesia Harus Belajar.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pakistan mendapat dukungan teknologi militer dari Tiongkok, termasuk dalam pengembangan jet tempur JF-17, pembelian jet J-10C, rudal jarak jauh PL-15E, hingga sistem pertahanan udara HQ-9. 

Sementara itu, India mempererat hubungan strategis dengan Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang, ikut serta dalam latihan militer bersama seperti Yudh Abhyas, Cope India, dan Malabar, serta menjadi bagian dari koalisi keamanan regional QUAD.

Eskalasi terbaru terjadi pada awal Mei 2025. Serangan teroris di wilayah Kashmir menewaskan 26 warga sipil India. Sebagai respons, India meluncurkan serangan rudal ke wilayah Pakistan. 

Tak lama kemudian, Pakistan membalas dengan menjatuhkan satu jet Rafale milik India dengan menggunakan jet J-10C dan rudal PL-15E.

Bagi India, jatuhnya jet Rafale menjadi pukulan telak yang menggoyahkan kepercayaan diri atas dominasi udaranya. Pesawat mahal buatan Prancis itu tak mampu bertahan dari sistem senjata Tiongkok yang lebih murah, tetapi efektif. Itu memaksa India mengevaluasi kembali strategi militernya. 

Dampak eskalasi tersebut pun meluas, terutama setelah pertemuan strategis India-AS, mempertegas bahwa konflik Kashmir kini beresonansi hingga ke kawasan Indo-Pasifik –di sana Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan.

INDONESIA PERLU MENAHAN DIRI

Indonesia saat ini sedang dalam proses pengadaan 42 unit jet tempur Rafale dari Prancis yang dilakukan Prabowo Subianto yang pada saat itu menjabat menteri pertahanan RI. Nilai kontraknya besar, mencapai 8,1 miliar dolar AS, melalui skema pinjaman luar negeri. 

Pengiriman pertama akan dilakukan pada awal 2026. Langkah tersebut tentu berangkat dari niat baik memperkuat pertahanan. Namun, pelajaran dari bentrokan di Kashmir semestinya mengundang pertanyaan terkait nilai strategis dari pembelian itu.

Rafale memang memiliki reputasi baik. Namun, insiden tersebut menunjukkan bahwa reputasi saja tidak cukup. Dalam era sistem sensor, rudal jarak jauh, dan interoperabilitas menjadi penentu kemenangan, performa harus diuji bukan dari brosur, melainkan dari realitas di medan konflik. 

Dari sisi biaya operasional, satu unit Rafale memerlukan anggaran sekitar 18.000 dolar AS per jam terbang. Sebagai perbandingan, JF-17 hanya memerlukan sekitar 4.500 dolar AS, dan J-10C sekitar 9.000 dolar AS per jam. 

Dalam jangka panjang, biaya logistik, pelatihan, dan perawatan dapat menguras anggaran pertahanan jika tidak dihitung secara cermat. Artinya, operasional pesawat tempur buatan Tiongkok jauh lebih murah jika dibandingkan dengan buatan Prancis.

ANTARA GENGSI DAN EFEKTIVITAS: JANGAN BELI KARENA TREN

Tiongkok memang bukan pemain baru di industri alutsista. Namun, kini kualitas produknya mulai menyaingi, bahkan melampaui, standar Barat. Selain jet J-10C, Tiongkok telah mengembangkan berbagai sistem mutakhir seperti drone tempur Wing Loong, kapal induk Fujian, dan sistem pertahanan udara HQ-9.

Menariknya, banyak dari produk itu digunakan negara-negara di Asia, Timur Tengah, hingga Afrika. Menurut data SIPRI, Tiongkok menyumbang 5,9 persen dari ekspor senjata global pada periode 2020–2024, menjadikannya pengekspor senjata terbesar keempat di dunia, dengan dengan 77 persen diekspor ke Asia-Oseania dan 14 persen ke Afrika. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: