Intimidasi Opini Publik: Demokrasi yang Terbungkam

Intimidasi Opini Publik: Demokrasi yang Terbungkam

ILUSTRASI Intimidasi Opini Publik: Demokrasi yang Terbungkam.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:UU TNI, RUU Polri, dan Kegelisahan Sipil Merawat Demokrasi

SIMPTOM OTORITARIANISME BARU

Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 sejatinya membuka keran kebebasan pers dan berekspresi di ruang publik. Media massa tumbuh pesat dan internet mulai menjamur. 

Ruang untuk kritik publik melalui tulisan menjadi sangat luas. Kolom opini di koran, majalah, situs berita online, blog pribadi, hingga media sosial menjadi platform bagi siapa saja untuk menyuarakan pandangannya. 

Namun, simptom Orde Baru melalui intimidasi dan represivitas suara publik tampaknya tidak sepenuhnya punah. Patologi itu muncul kembali dalam bentuk baru melalui kriminalisasi terhadap aktivis, doxing terhadap jurnalis, sampai kekerasan yang dilakukan terhadap ekspresi kritisi publik. 

BACA JUGA:Demokrasi Inklusif Pasca Penghapusan Presidential Threshold

BACA JUGA:Kepulauan Buton, Kanvas Inspirasi yang Menunggu Sentuhan Warna

Kasus terbaru pada Kamis, 22 Mei 2025, seorang penulis kolom berinisial YS menulis sebuah opini kritis yang dimuat di Detik.com, berjudul Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN? yang mengulas persoalan serius mengenai penempatan perwira aktif militer ke dalam jabatan sipil, dinilai bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem birokrasi sipil. 

Tulisan itu membahas isu sensitif mengenai penempatan jenderal aktif atau purnawirawan di jabatan sipil, sebuah topik yang kerap memicu perdebatan mengenai meritokrasi dan profesionalisme birokrasi.

Setelah artikel tersebut tayang, YF diduga mengalami intimidasi. Walaupun detail mengenai bentuk intimidasi tidak dijelaskan secara spesifik di beberapa laporan, disebutkan bahwa alasan di balik penghapusan tulisan tersebut adalah untuk ”keselamatan penulisnya”. 

BACA JUGA:Generasi Muda dan Tantangan Demokrasi Digital di Indonesia

BACA JUGA:Jangan Bangga dengan Hasil Demokrasi Transaksi lewat 'Nyangoni'

Itu mengindikasikan adanya tekanan serius yang membuat penulis merasa terancam. Akibat intimidasi tersebut, Detik.com akhirnya mencabut tulisan YF dan mengubah judulnya menjadi ”Tulisan Ini Dicabut”. 

Pihak Detik.com menyatakan bahwa penghapusan dilakukan atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers, dan alasan keselamatan didasarkan pada penuturan penulis sendiri (Tempo.co, 2025).

Apa yang menimpa YS bukanlah sekadar persoalan personal. Itu mencerminkan memburuknya iklim demokrasi dan penyempitan ruang sipil (shrinking civic space) di Indonesia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: