Jalan Menuju Cahaya: Pameran Seni Rupa Lintang Lima dalam Rasa Rasaning Karsa

Jalan Menuju Cahaya: Pameran Seni Rupa Lintang Lima dalam Rasa Rasaning Karsa

Pembukaan Pameran Seni Rupa Lintang Lima berjudul Rasa Rasaning Karsa di Galeri Merah Putih pada Sabtu, 28 Juni 2025.--Istimewa

HARIAN DISWAY - Dalam perspektif Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum., CSSL, makna Pameran Seni Rupa bertajuk Rasa Rasaning Karsa makin terang. Saat membukanya pada Sabtu, 28 Juni 2025, karya lima perupa Lintang Lima itu disambungtautkan dalam perspektifnya dengan lebih dalam.

Menyapa untuk pertama kalinya di Surabaya, kelompok perupa dari Yogyakarta Lintang Lima yang beranggotakan Eddy Subroto, Evrie Irmasari, Tara Noesantara, Yanz Haryo Darmista, dan Yosi Chatam memamerkan karya mereka di Galeri Merah Putih, komplek Balai Pemuda – Alun Alun Surabaya hingga 3 Juli 2025 nanti.

Setelah resmi dibuka oleh Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum yang saat ini menjadi Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, publik bisa menikmati karya kelimanya. Masing-masing mencoba menerjemahkan titel yang disebut sebagai ”titipan” dari seorang sahabat mereka, almarhum Budianto.

BACA JUGA: Buka Pameran Seni Rupa Lintang Lima, Budayawan Prof Suparto Wijoyo Makin Maknai Rasa Rasaning Karsa

Menurut Evrie, ketua pameran, Budianto yang lebih akrab dipanggil Bagong itu adalah sosok yang sangat berperan buat mereka berlima. ”Banyak sekali yang dipesankan oleh Mas Bagong. Sosoknya sangat njawani. Kami pun masih sedang memahami rasa rasaning karsa itu sendiri,” kata Evrie.

Tentang makna itu, Prof Jojo -panggilannya- mencoba menguraikannya. Menurutnya Rasa Rasaning Karsa itu bisa dianggap sebagai proses menempuh jalan Ilahi. Menurutnya, perupa sangat mampu menyusuri jalan teologi itu. 

”Sebab Tuhan itu menciptakan semesta ini untuk difinalisasi. Tuhan telah menjadi Maha Perupa. Karena manusia yang diciptakan-Nya menjadi episode penciptaan yang terakhir setelah tatanan ekosistem yang lainnya. Dengan rupa yang paling sempurna tak ada manifestasti yang paling indah selain manusia. Inilah rasa rasaning karsa,” beber Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur itu.

BACA JUGA: Lintang Lima Terbentuk, Kelompok Perupa Yogyakarta Ini Langsung Gelar Pameran Perdana di Surabaya

Pun dengan Lintang Lima yang dipilih sebagai nama kelompok perupa. Sebagai  komonitas yang baru muncul di Yogyakarta tak lama sebelum pameran digelar, Prof Jojo memuji pilihan Lintang Lima -bukan Pandawa- yang sangat maskulin. “Juga bukan urusan panca darma tapi ini lintang lima yang menjadi penanda arah,” ujarnya. 

”Bagi saya para perupa Lintang Lima ini adalah suluh bagi kehidupan. Saya istilahkan hadirnya para perupa di mana pun mereka berada haruslah mampu sebagai pemandu arah zaman. Maka berarti pameran ini ada satu gerakan besar yakni jalan menempuh cahaya dengan seni rupa. Karena yang dipilih lintang yang merupakan penunjuk arah,” paparnya. 


Prof. Dr. H. Suparto Wijoyo memegang souvenir dari Lintang Lima yang diserahkan ketua panitia pameran Evrie Irmasari.--Istimewa

Bahasan ini membuat perupa Lintang Lima makin memahami titel pameran yang mereka ambil. Diakui oleh Evrie, mereka memang berupaya menyelaraskannya dengan peribahasa Jawa yang adiluhung itu. ”Oleh kurator Heti Palestina Yunani, judul-judul karya kami diarahkan pada nilai-nilai Jawa yang selama ini juga ditekankan oleh Mas Bagong,” terang Evrie.

BACA JUGA: Komperta Gelar Pameran Seni Rupa Maneges, Ekspresi Spiritual dan Renungan Diri Para Perupa

Saat berkeliling galeri menikmati karya, Prof Jojo berbalik meminta para perupa untuk menjelaskan makna di balik judul karya mereka. Eddy yang bergaya realis dalam Gandrung Kasmaran Rama-Sinta, Gandrung Katresnan Rama-Sinta, Soekarno lan Rajawali, Satriyoning Reyog Prabu Klono Sewandono, Ngunduh Wohing Pakarti, dan Sabar Sareh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: