Bisakah MPR menafsirkan putusan MK?

Bisakah MPR menafsirkan putusan MK?

Gedung Mahkamah Konstitusi.--

Memang MPR berwenang untuk membentuk dan mengubah UUD, tetapi kewenangan MPR berhenti ketika MPR menetapkan UUD. Dengan demikian, MPR tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan UUD, karena kewenangan MPR hanya sampai pada menetapkan UUD, setelah itu kewenangan MPR terhadap UUD sudah selesai.

Kewenangan dalam menafsirkan UUD secara konstitusional hanya ada di tangan MK. MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Dalam menjaga konstitusi ini, maka MK pun memiliki kewenangan untuk menafsirkan isi dari UUD. Namun demikian, kewenangan dari MK itu sendiri tetap harus melalui mekanisme permohonan dari pihak yang dirugikan secara konstitutional terhadap UU yang dilahirkan oleh pembentuk UU.

Dari hasil permohonan judicial review yang diajukan oleh pihak pemohon itulah, MK memproses melalui proses persidangan. Sedangkan MPR tidak memiliki kewenangan untuk menerima permohonan pengujian UU terhadap UUD. MPR memang pernah memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD, ketika MK belum terbentuk. Setelah MK terbentuk, maka kewenangan untuk melalukan pengujian UU terhadap UUD dilakukan oleh MK. Kewenangan MPR dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD pada waktu itu diatur dalam TAP MPR No. III/MPR/2000.

BACA JUGA:Malam Ini, Sidang Putusan Sela Gugatan Pilgub Jatim 2025 di MK

BACA JUGA:Sidang Putusan Dismissal Pilkada Digelar 11-13 Februari, MK Batasi Jumlah Saksi dan Ahli

Penafsiran oleh MPR terhadap putusan MK ini justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena akan ada dua produk hukum terkait tafsir terhadap pemilu di Indonesia. Publik tentu akan menilai bahwa usulan untuk menafsirkan putusan MK oleh MPR dalam rangka untuk mendelegitimasi putusan MK No. 135 ini. 

Jika MPR benar-benar akan melakukan penafsiran terhadap putusan MK No. 135 ini tentu bukannya akan menyelesaikan polemik yang terjadi di masyarakat. Justru hal ini akan semakin membuat publik gaduh.

Bagaimanapun, MPR merupakan lembaga politik, dan sebagian dari anggota MPR adalah anggota DPR. Oleh karena itu, jika MPR melakukan penafsiran terhadap putusan MK ini maka akan terjadi konflik kepentingan. DPR yang merasa paling dirugikan terhadap putusan MK ini, pasti secara tendensius akan berusaha mendelegitimasi putusan MK dan ini akan membuat iklim politik menjadi kurang sehat.

Bagaimanapun juga putusan MK ini memang memancing pro dan kontra, khususnya terkait dengan pemilu DPRD yang dibarengkan dengan pilkada. MK memberi rentang waktu antara dua sampai dua setengah tahun setelah pemilu nasional. Oleh karena itu konsekuensinya, masa jabatan anggota DPRD 2024-2029 menjadi 2024-2031. Padahal Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali. 

Dengan demikian, putusan MK No. 135 ini dianggap bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sekaligus bertentangan dengan asas pemilu, yakni asas periodesasi tetap, yakni lima tahunan. Jika digelar 7 tahun lagi, maka pemilu untuk memilih anggota DPRD ini bertentangan dengan asas periodisasi pemilu.

MK telah menyerahkan persoalan ini kepada pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitutional engineering). Rekayasa konstitusi ini dilakukan dengan membuat Pasal Aturan Peralihan, di mana akan diatur masa transisi keanggotaan DPRD periode 2024-2029 sehingga bisa menjabat hingga tahun 2031. 

Penafsiran MPR agar MPR bisa melakukan bantahan terhadap putusan MK No. 135 ini akan sia-sia, karena bagaimanapun produk hukum dari pengaturan pemilu ini adalah UU. Bukan Ketetapan MPR, sehingga peran MPR dalam melakukan penafsiran terhadap putusan MK ini akan menjadi mubadzir. (*)

 

*) Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Dewan Pakar Pusat Kajian Konstitusi, Demokrasi dan Perundang-undangan (Puskoper) Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: