Tiongkok Ngegas

Tiongkok Ngegas

GAIKINDO Indonesia International Automotive Show (GIAAS) 2025 berlangsung 24 Juli hingga 3 Agustus 2025 menampilkan lebih dari 60 merek otomotif global.-Arif Afandi untuk Harian Disway-

BACA JUGA:Kerja Sama Proyek OBOR antara Indonesia-Tiongkok

BACA JUGA:Merespons Kebangkitan Tiongkok

Apalagi, Indonesia dikenal sebagai produsen bahan baku untuk baterai dengan tambang nikelnya.

Memasuki arena GIAAS 2025, sangat terasa bahwa merek-merek Tiongkok tampil agresif. Sebaliknya, produsen otomotif Jepang tampak lebih konservatif dalam merespons disrupsi ini. 

Meski Toyota, Honda, dan Mitsubishi tetap mempertahankan pangsa pasar yang besar, kehadiran mereka di GIIAS 2025 tidak lagi mendominasi narasi publik seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Strategi elektrifikasi mereka terlihat lamban. Masih bertumpu pada hybrid konvensional yang kini mulai ditinggalkan konsumen yang lebih melek teknologi. 

Itu memperlihatkan celah yang dimanfaatkan pabrikan Tiongkok, yang dengan cepat membaca arah kebijakan transisi energi Indonesia menuju kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV). 

Konsumen perkotaan menunjukkan antusiasme tinggi terhadap mobil listrik karena insentif pajak, biaya operasional rendah, dan citra ramah lingkungan. Jika pabrikan Jepang tidak segera mempercepat adaptasi, dominasi mereka yang telah berlangsung selama puluhan tahun bisa runtuh secara struktural dalam dekade ini.

Memang, masuknya investasi dari Tiongkok, seperti pabrik Xpeng dan rencana ekspansi GAC Aion, membuka peluang besar untuk penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi, dan peningkatan neraca perdagangan. 

Namun, di sisi lain, ketergantungan yang terlalu besar pada satu negara asal produsen dapat menimbulkan risiko baru terhadap kedaulatan industri.

Pemerintah perlu mengimbanginya dengan kebijakan industrialisasi yang kuat. Perlu segera dibangun ekosistem industri otomotif nasional yang sehat, mulai penambangan dan hilirisasi nikel untuk baterai, riset dan pengembangan komponen EV lokal, hingga pelatihan tenaga kerja untuk manufaktur tinggi. 

Tanpa kerangka regulasi dan roadmap industri yang visioner, Indonesia bisa menjadi ”pasar captive” baru bagi kendaraan listrik Tiongkok. Bila itu terjadi, tak ada nilai tambah signifikan dari sisi industri domestik. 

Respons terhadap peta baru dalam GIAAS 2025 bisa menentukan nasib kita: apakah dominasi Tiongkok akan menjadi katalis transformasi atau jebakan baru dalam relasi perdagangan global.

Menurut saya, ada dua pesan penting yang bisa diambil dari GIAAS 2025. 

Pertama, konsumen Indonesia sedang berubah. Mereka lebih terbuka pada merek baru yang menawarkan value for money dan teknologi ramah lingkungan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: