Refleksi Komunikasi DPR dalam Menjaga Kepercayaan Publik

Refleksi Komunikasi DPR dalam Menjaga Kepercayaan Publik

ILUSTRASI Refleksi Komunikasi DPR dalam Menjaga Kepercayaan Publik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Kenaikan Tunjangan DPR RI, Joget di Senayan, dan Krisis Empati Sosial

BACA JUGA:Kepala Daerah Dipilih Anggota DPRD, Demokratis?

Kemarahan masyarakat menjadi indikator menurunnya kepercayaan publik terhadap kebijakan elite politik di pemerintahan maupun di parlemen. Di satu sisi, ada kenaikan pajak ugal-ugalan di berbagai sektor dan korupsi makin merajalela. 

Di sisi lain, masyarakat menyaksikan gaya hidup hedon elite politik, pemandangan joget riang para senator menerima fasilitas dan tunjangan fantastis. 

Kondisi paradoks makin menjauhkan elite politik dengan masyarakat. Dan, menurut etika komunikasi politik, itu jauh dari kata etis. 

BACA JUGA:KPK Larang Koruptor Pakai Masker, Mengapa DPR Terganggu?

BACA JUGA:Catatan Said Abdullah: Dulu Saya Usulkan Revisi UU MD3 Soal Kewenangan Keuangan DPR, Just It!

Menurunnya kepercayaan publik terakumulasi menjadi sebuah gerakan massal menuntut keadilan. Paling tidak, penulis menangkap tuntutan utama adalah menghentikan kenaikan tunjangan DPR dan percepatan RUU perampasan aset koruptor. 

Sedangkan meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang terlindas mobil rantis Brimob, menjadi martir demokrasi momentum menguatnya emosional tuntutan masyarakat.

Jika tuntutan masyarakat direspons dengan baik oleh DPR dan pemerintah melalui dialog menampung aspirasi, paling tidak aksi anarkistis bisa diredam. Bukan malah kontraproduktif yang menimbulkan kemarahan publik, misalnya, dengan kata ”tolol”. 

BACA JUGA:Laporan Polisi (LP) Palsu Sampai ke DPR

BACA JUGA:Bandar dan Bohir di DPR

Perlu dipahami bahwa di era digital sekarang ini semua pernyataan cepat viral. Algoritma sangat memungkinkan apa yang dikatakan di media sosial menjadi bola liar dan sulit dihapus. Dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memprovokasi publik. 

Oleh karena itu, ucapan dan tindakan pejabat publik harus dikontrol. Sebab, kalimat yang sifatnya diskriminatif dan provokatif mudah sekali menjadi martir untuk menggugat balik. 

Pasalnya, ruang digital kini menjadi ruang publik baru berfungsi sebagai check and balance kepada pejabat publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: