Dari Sawah ke Startup: Transformasi Petani Milenial Indonesia Melalui Kolaborasi Lintas Generasi

ILUSTRASI Dari Sawah ke Startup: Transformasi Petani Milenial Indonesia Melalui Kolaborasi Lintas Generasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
TANTANGAN DAN PELUANG KE DEPAN
Tentu saja, perjalanan masih panjang. Dari 27,37 juta rumah tangga petani, baru sekitar 5 persen yang benar-benar terintegrasi dengan teknologi. Infrastruktur internet yang baru menjangkau 60 persen area pertanian masih jadi kendala.
Rata-rata pendidikan petani yang masih SD-SMP membuat transfer pengetahuan tidak selalu mudah. Namun, ada optimisme. Pandemi Covid-19, dengan segala dampak negatifnya, justru mempercepat digitalisasi pertanian.
Pembatasan mobilitas memaksa petani menggunakan teknologi untuk bertahan. ”Dulu jualan harus ke pasar, sekarang pembeli yang datang via online,” kata petani sayur di Lembang.
Tren global juga menguntungkan. Permintaan produk pertanian sustainable dan traceable terus meningkat. Dengan teknologi blockchain sederhana, petani kopi Gayo bisa membuktikan keaslian dan keberlanjutan produk mereka, meningkatkan harga jual hingga 50 persen.
”Pembeli di Eropa mau bayar mahal kalau tahu persis kopinya dari kebun mana, petaninya siapa,” jelas pengekspor kopi. Generasi Z yang digital native juga mulai tertarik pertanian. Mereka tidak melihat kontradiksi antara sawah dan startup.
”Kenapa harus pilih? Bisa kok jadi petani sekaligus technopreneur,” kata founder agritech startup yang masih kuliah. Pola pikir itulah yang akan mengubah pertanian Indonesia ke depan.
HARMONI CANGKUL DAN CLOUD COMPUTING
Di akhir kunjungan ke ”Kampung Smart Farming” Temanggung, saya menyaksikan pemandangan yang mungkin akan jadi biasa sepuluh tahun lagi: seorang petani tua mengajari cucunya membaca tanda-tanda alam sambil si cucu merekamnya dengan smartphone untuk jadi konten YouTube.
Di sawah sebelah, petani muda mengoperasikan drone sambil berkonsultasi dengan petani senior tentang pola tanam terbaik.
Itulah masa depan pertanian Indonesia: bukannya mengganti tradisi dengan teknologi, melainkan mengharmonikan keduanya. Smart Farming 4.0 bukan tentang drone dan AI saja, melainkan juga tentang bagaimana teknologi bisa amplify wisdom yang sudah ada.
Mentorship lintas generasi bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan juga fusion of wisdom –saat pengalaman bertemu inovasi, tradisi bertemu disrupsi. Transformasi dari sawah ke startup tidak berarti meninggalkan sawah.
Justru sebaliknya, membuat sawah jadi lebih produktif, sustainable, dan profitable dengan bantuan teknologi. Dan, yang paling penting, transformasi itu tidak menghilangkan jiwa pertanian Indonesia: gotong royong, kearifan lokal, dan respek terhadap alam.
Sebab, pada akhirnya, masa depan pertanian Indonesia bukan di tangan Google atau Mbah Karyo saja, melainkan di tangan keduanya yang berkolaborasi. Ketika kearifan lokal bertemu wifi, magic happens.
Pun, magic itu sedang terjadi di sawah-sawah Indonesia, satu mentorship pada satu waktu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: