Dari Sawah ke Startup: Transformasi Petani Milenial Indonesia Melalui Kolaborasi Lintas Generasi

ILUSTRASI Dari Sawah ke Startup: Transformasi Petani Milenial Indonesia Melalui Kolaborasi Lintas Generasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SUBUH di Desa Cianjur, Jawa Barat. Dua sosok berjalan menuju sawah dengan perlengkapan yang kontras. Yang tua membawa cangkul dan ani-ani, yang muda membawa tablet dan power bank. ”Pak, hari ini kita cek kelembapan tanah pakai aplikasi, ya,” kata si muda. ”Boleh, tapi Bapak cek dulu pakai cara Bapak,” jawab yang tua sambil meremas-remas tanah dengan tangannya. Keduanya tersenyum.
Itu bukan pertentangan generasi, melainkan kolaborasi yang sedang mengubah wajah pertanian Indonesia. Pemandangan seperti itu mungkin masih langka, tetapi mulai bermunculan di berbagai daerah. Dari 27,37 juta rumah tangga petani yang tercatat dalam Sensus Pertanian 2023, memang baru sebagian kecil yang mengadopsi teknologi canggih.
BACA JUGA:Solusi Dilema Profesi Petani Milenial
BACA JUGA:Menarik! Ini Gaji Petani Milenial 2024, Bisa Dapat Rp 10 Juta Per Bulan
Namun, yang menarik, transformasi itu tidak terjadi dengan menggusur kearifan lokal, tetapi justru dengan menggabungkannya. Itulah kisah tentang bagaimana Smart Farming 4.0 bertemu dengan wisdom farming yang sudah berusia ribuan tahun.
Mari kita jujur dulu. Smart Farming 4.0 dengan segala kehebatannya –AI, IoT, drone, big data– memang terdengar seksi di seminar dan konferensi. Namun, di lapangan? Ceritanya berbeda. Mayoritas petani kita masih berkutat dengan masalah klasik: modal terbatas, lahan sempit, hingga akses pasar yang rumit.
Sebanyak 17,25 juta di antara 27,37 juta rumah tangga petani adalah petani gurem dengan lahan kurang dari setengah hektare. Bicara drone untuk lahan seluas itu? ”Mending beli pupuk,” kata seorang petani di Indramayu dengan logika yang sulit dibantah.
BACA JUGA:Cara Daftar Petani Milenial 2024 Beserta Syarat Lengkapnya
BACA JUGA:Alan So, Petani Milenial Gresik yang Kembangkan Sayurganik
Namun, transformasi tetap terjadi, tetapi dengan cara yang lebih realistis dan membumi. Di Subang, sekelompok petani muda mulai menggunakan WhatsApp untuk berbagi informasi cuaca dan harga.
Di Malang, petani sayur menjual langsung ke konsumen via Instagram. Di Temanggung, petani kopi menggunakan GPS sederhana untuk mapping kebun mereka. Itu mungkin belum secanggih visi Industri 4.0, tetapi ini nyata dan berdampak langsung.
Yang lebih menarik lagi, adopsi teknologi itu ternyata paling berhasil ketika melibatkan petani senior. Mengapa? Sebab, teknologi tanpa konteks lokal itu seperti kompas tanpa jarum: canggih, tetapi tidak berguna.
BACA JUGA:DPR Minta Tata Niaga Gula Dibenahi, Petani Tebu Terancam Rugi
BACA JUGA:Temui Petani Desa Dempel, Pak King Dorong Regenerasi Petani di Ngawi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: