Ketergantungan Fiskal pada Cukai Hasil Tembakau: Antara Penerimaan Negara dan Beban Sosial

Ketergantungan Fiskal pada Cukai Hasil Tembakau: Antara Penerimaan Negara dan Beban Sosial

ILUSTRASI Ketergantungan Fiskal pada Cukai Hasil Tembakau: Antara Penerimaan Negara dan Beban Sosial.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

CUKAI hasil tembakau masih menjadi salah satu tulang punggung penerimaan fiskal Indonesia. Kontribusinya setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah atau sekitar 10 persen dari total penerimaan APBN. 

Itu menjadikannya pos vital dalam pembiayaan berbagai program pembangunan. Namun, ketergantungan fiskal pada sektor itu menyimpan dilema besar. Rokok merupakan produk adiktif yang menimbulkan eksternalitas negatif, baik dari sisi kesehatan, sosial, maupun ekonomi. 

Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan fundamental: sampai kapan negara dapat mengandalkan sumber penerimaan yang sekaligus menjadi penyebab beban kesehatan dan penurunan produktivitas masyarakat?

BACA JUGA:Menkeu Purbaya Pastikan Cukai Rokok Tak Naik Tahun Depan, Pilih Berantas Rokok Ilegal

BACA JUGA:Sisi Medis Urgensi Cukai Minuman Berpemanis; Siap Regulasi Ekstrem seperti Rokok

STANDAR WHO

Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia. Data menunjukkan, konsumsi nasional telah mencapai sekitar 280 miliar batang per tahun, jauh di atas ambang batas yang diperingatkan World Health Organization (WHO) terkait bahaya kesehatan dan kerugian ekonomi akibat rokok. 

WHO menekankan bahwa konsumsi berlebihan dapat memicu epidemi penyakit kronis dan menurunkan produktivitas tenaga kerja dalam jangka panjang.

Paradoks fiskal pun muncul. Di satu sisi, penerimaan negara dari cukai tembakau menjadi sumber utama APBN. Namun, di sisi lain, biaya kesehatan, sosial, dan ekonomi yang ditanggung negara gara-gara konsumsi rokok justru lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh. 

BACA JUGA:Lagi, 9.500 Batang Rokok Ilegal Disita Bea Cukai dan Satpol PP di Surabaya

BACA JUGA:PHK Massal Gudang Garam Picu Alarm Ekonomi: Rokok Ilegal dan Cukai Jadi Biang Kerok

Misalnya, beban pembiayaan penyakit terkait rokok melalui BPJS Kesehatan terus meningkat, membebani keuangan negara dan masyarakat.

KOMODITAS INELASTIS DAN DAMPAK SOSIAL

Rokok memiliki karakteristik permintaan inelastis. Ketika tarif cukai dinaikkan 10 persen hingga mencapai 55 persen, penurunan konsumsi yang terjadi hanya sekitar 1–2 persen. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: