Di Balik Topeng Singo Barong: Ironi Kesejahteraan Penjaga Tradisi Reog

ILUSTRASI di Balik Topeng Singo Barong: Ironi Kesejahteraan Penjaga Tradisi Reog.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
GAMELAN bertalu-talu membelah udara, menebarkan aura magis yang membuat siapa pun terpaku. Di sela-selanya, suara slompret yang melengking tajam seolah merapal mantra, membangkitkan semangat sekaligus memberikan isyarat kepada setiap gerak dalam pertunjukan.
Di tengah arena, kepala Singo Barong seberat puluhan kilogram menari lincah di atas satu pundak, seolah menentang hukum gravitasi. Itulah pemandangan yang selalu berhasil membuat kita berdecak kagum pada reog Ponorogo. Sebuah mahakarya yang kini panggungnya tidak lagi sekadar alun-alun desa, tetapi juga festival-festival dunia.
Namun, di balik decak kagum itu, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: bagaimana kabar para seniman itu sesaat setelah panggung dibongkar dan riuh tepuk tangan mereda?
BACA JUGA:Singo Barong Mengantar Boyongan
BACA JUGA:Pancasila sebagai Roh Pembangunan dan Identitas Bangsa: Refleksi dari Tanah Reog
Ironisnya, gemerlap reog di panggung dunia dan pengakuan UNESCO yang membanggakan belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kesejahteraan para penjaga setianya.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengagumi karya mereka, tetapi juga memperjuangkan nasib mereka melalui sebuah gagasan sederhana: pemberdayaan melalui literasi ekonomi.
Satu hal yang wajib kita pahami bersama: reog bukanlah sekadar tarian hiburan. Bagi masyarakat Ponorogo, ia adalah detak jantung sosial, kamus hidup yang berisi filosofi, sekaligus penanda identitas yang tak lekang oleh waktu.
Setiap gerak tari, setiap detail kostum, dan setiap alunan musiknya adalah warisan pengetahuan dari para leluhur. Membiarkan para penjaga tradisi itu terseok-seok secara ekonomi sama artinya dengan membiarkan urat nadi kebudayaan Ponorogo itu sendiri perlahan-lahan rapuh.
Bagi para seniman reog di Ponorogo, semangat melestarikan budaya sering kali berbenturan dengan kerasnya realitas. Ada ratusan sanggar yang hidup, tapi rasanya sulit sekali untuk bisa maju bersama. Ganjalannya datang dari berbagai sisi.
Di tingkat internal, rasa kebersamaan antarseniman terkadang masih tipis. Pada saat yang sama, mereka juga berjuang dengan urusan ekonomi: banyak yang belum memahami cara menghitung biaya pementasan agar tidak merugi.
Akibatnya, harga pementasan sering kali hanya didasarkan pada kesepakatan tawar-menawar seadanya, membuat mahakarya itu dihargai terlalu murah.
Dilema itu makin berat ketika mereka harus mencari bahan-bahan utama seperti bulu merak atau kulit harimau. Selain susah mendapatkannya karena aturan, harganya pun bisa membuat napas sesak.
Pada akhirnya, hidup mereka seolah hanya ditopang oleh seberapa banyak panggilan manggung yang datang. Jelas sekali, untuk menjaga reog tetap hidup dan berkembang, para pelakunya perlu dibekali dengan jiwa wirausaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: