Kuota Tambahan Haji 2024: Rezeki, Diskresi, atau Korupsi?

Kuota Tambahan Haji 2024: Rezeki, Diskresi, atau Korupsi?

ILUSTRASI Kuota Tambahan Haji 2024: Rezeki, Diskresi, atau Korupsi?.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:KPK Dalami Dugaan Korupsi Haji 2024, Ada Penyimpangan di Layanan Katering Jamaah

Mengapa 50:50? Apa pertimbangannya? Apakah untuk mengurangi antrean haji reguler yang sudah 30 tahun? Atau, untuk memenuhi permintaan jamaah haji khusus yang punya daya bayar lebih tinggi? Tanpa jawaban terbuka, diskresi selalu berpotensi ditafsir macam-macam.

POLITIK, BISNIS, DAN IBADAH

Jangan lupa, haji ini bukan sekadar ibadah. Haji itu ada di titik temu tiga kepentingan: politik, bisnis, dan spiritual.

Politik: pemerintah ingin terlihat sukses mengurus rukun Islam kelima. Bisnis: ada ribuan travel dan PIHK yang cari makan dari sektor itu. Spiritual: umat Islam berharap agar perjalanan hajinya sah, mabrur, dan penuh khusyuk.

BACA JUGA:KPK Dalami Jual Beli Kuota Haji Khusus 2024, Kerugian Negara Diperkirakan Capai Rp1 Triliun

BACA JUGA:Biro Travel Haji di Seluruh Indonesia Jadi Sasaran KPK, Imbas Korupsi Kuota Haji

Ketika politik dan bisnis terlalu dominan, spiritualitas bisa tersisih. Dan, itulah yang bikin kita sensitif. Karena itu, harus ada keseimbangan antara ketiganya: politik, bisnis, dan spiritual. Sama-sama sukses (husnulkhatimah).

REZEKI ATAU KORUPSI?

Kalau dilihat dari kacamata jamaah, kuota tambahan itu rezeki. Kesempatan bisa naik haji lebih cepat, tak perlu menunggu 20–30 tahun. Namun, dari kacamata hukum, kuota tambahan bisa berubah jadi dugaan korupsi.

Di sinilah kita butuh keseimbangan. Check and balance. KPK tetap boleh selidiki. Tapi, Kemenag juga harus menjelaskan secara jernih dasar keputusannya. PIHK pun harus diperlakukan adil, jangan asal dicap.

APA YANG PERLU DILAKUKAN?

Supaya drama ini tidak berulang, ada beberapa hal sederhana yang layak untuk dilakukan. 

Pertama, audit BPK/BPKP untuk memastikan ada tidaknya kerugian negara. 

Kedua, aturan teknis kuota tambahan harus dibuat jelas dalam peraturan menteri. Jangan hanya bergantung diskresi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: