Outrage Fatigue dan Stres: Alasan Bijaksana Menggunakan Media Sosial

Outrage Fatigue dan Stres: Alasan Bijaksana Menggunakan Media Sosial

Ilustrasi: Media sosial.--

Lelah secara emosional juga dapat mendorong stres psikologis. Outrage fatigue menyebabkan individu sulit mengatur emosi, merasa kewalahan, dan tidak punya energi lagi untuk merespons isu baru. Hal ini berhubungan dengan emotional exhaustion, salah satu komponen utama dari burnout, yang juga erat kaitannya dengan stres kronis. Stres juga muncul akibat seseorang apatis dan putus asa atas paparan informasi negatif yang berlebihan. 

Saat outrage fatigue muncul, banyak orang merasa bahwa usaha mereka tidak membawa perubahan. Perasaan tidak berdaya ini mirip dengan learned helplessness, yang memperkuat stres, kecemasan, bahkan gejala depresi. Selain itu, stres juga ditandai oleh adanya gangguan fisiologis. Ley, D.J. (2017) menuliskan bahwa outrage fatigue bisa mengganggu tidur, konsentrasi, dan menimbulkan rasa tegang terus-menerus. Stres yang berkepanjangan bisa memicu gangguan kesehatan fisik: sakit kepala, masalah pencernaan, tekanan darah tinggi.

Kondisi-kondisi lain yang juga dipicu oleh stres adalah  menarik diri (withdraw) dari media atau berita karena merasa kewalahan; hubungan antar pribadi bisa terganggu; dan perasaan bahwa tidak ada yang berubah meskipun sudah banyak usaha atau reaksi, sehingga muncul keputusasaan. Ley, D.J. (2017) memberikan contoh pasangan yang tidak membicarakan masalah politik sebelum mereka tidur, sebagai upaya untuk menghindari stres yang akan mengganggu ketenangan. 

Begitu pula beberapa kelompok pertemanan sepakat untuk tidak membicarakan pemberitaan apapun saat mereka sedang makan bersama. Beberapa orang bahkan meninggalkan media sosial daripada harus bertahan dengan kondisi emosi yang tidak dapat dikendalikan.

Selain menarik diri, individu juga memiliki kecenderungan melakukan doomscrolling.  Meski merasa lelah, sebagian individu justru terus-menerus menggulir berita buruk. Mereka terjebak dalam siklus tertarik tapi tertekan. Saat bersamaan muncul perasaan bersalah jika berhenti mengikuti isu tertentu. Kondisi ini biasanya disertai stres, insomnia dan kecemasan.

BACA JUGA:Ramai di Medsos, Sepi di Lapangan: Demo Depan DPR Hanya Diikuti Puluhan Orang

BACA JUGA:Isu Demo 25 Agustus Ramai di Medsos, Buruh Pastikan Aksi 28 Agustus

Cara Mengatasi Outrage Fatigue 

Meski sulit untuk dikendalikan, namun ada beberapa cara yang dapat dicoba untuk mengatasi outrage fatigue :

1. Saring Informasi Secara Sadar : menyaring informasi dapat dilakukan dengan cara mengurangi konsumsi berlebihan berita atau media sosial; kita juga dapat memilih sumber berita yang kredibel, bukan berita yang sensasional; batasi waktu membaca berita, misalnya hanya pagi atau malam saja; gunakan fitur ‘mute’ atau ‘unfollow’ untuk akun atau topik yang terlalu memicu emosi berlebihan.

2. Fokus pada Aksi, Bukan Reaksi : alihkan emosi menjadi tindakan kecil yang konkrit. Misalnya bergabung dengan komunitas sosial untuk berkontribusi secara nyata, dimana sekecil apapun aksi nyata lebih sehat daripada hanya reaksi emosional di media sosial.

3. Beri Ruang untuk Istirahat Emosional : ambil ‘media break’ atau waktu puasa digital secara berkala. Gunakan waktu untuk aktivitas positif: membaca buku, jalan di alam, menulis jurnal atau latih mindfulness dan grounding techniques untuk menenangkan pikiran.

4. Rawat Kesehatan Mental dan Emosional  : konsultasi dengan profesional bila merasa kewalahan secara berlarut. Jaga keseimbangan hidup (tidur cukup, makan sehat, olahraga) dan kelilingi diri dengan orang-orang yang suportif dan positif.

5. Latih Perspektif dan Empati Realistis : fokus pada isu yang benar-benar dekat atau relevan dengan Anda. Ingatlah bahwa perubahan sosial itu proses jangka panjang dan hindari tekanan untuk selalu ‘harus tahu’ dan ‘harus marah’.

6. Bangun Komunitas Dukungan : berbagi perasaan dengan teman, komunitas, atau kelompok advokasi. Diskusi sehat bisa membantu mengurai perasaan frustrasi dan menyalurkan energi secara lebih konstruktif.

Selain itu, Ley, D.J. (2017) juga menambahkan bahwa intinya individu mampu menentukan isu-isu mana yang penting bagi dirinya dan yang paling dipedulikan. Ley menyarankan individu membuat daftar rangking berdasarkan kepeduliannya, waktu dan energi yang dihabiskan dan seberapa besar dampak yang bisa dilakukan. Individu juga harus memperhatikan bahwa energi emosional dan waktu yang dimiliki individu itu terbatas. Oleh karenanya, buatlah keputusan secara sadar tentang berapa banyak waktu dan energi yang akan diinvestasikan ke isu sosial politik atau untuk aspek hidup lainnya seperti keluarga, pekerjaan, hobi dan perawatan diri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: