Madilog dan Tahapan Rostow, Membangun “Akal Sehat” Indonesia

Madilog dan Tahapan Rostow, Membangun “Akal Sehat” Indonesia

Buku Madilog karangan Tan Malaka.-Istimewa-

 


Achmad Room Fitrianto, Dosen Ekonomi Perubahan Sosial UINSA, Alumnus Geography and Regional Planning Curtin University Australia.--


Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP Unair, Co-founder Nusantara Policy Lab--

"Bangsa yang merdeka haruslah merdeka pula pikirannya," tulis Tan Malaka dalam Madilog. Ia menegaskan bahwa pembebasan bangsa tidak cukup hanya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari cara berpikir yang dogmatis dan irasional. Delapan dekade kemudian, gagasan itu tetap menggema: ketika pembangunan kita sering kali berlari kencang tanpa arah logis, di tengah bangsa yang masih mudah digiring oleh narasi, simbol, dan sentimen.

Di sisi lain, ekonomi pembangunan modern mengenal teori Walt Whitman Rostow, ekonom Amerika yang pada 1960 menulis The Stages of Economic Growth. Ia memetakan pembangunan ekonomi dalam lima tahap, dari masyarakat tradisional hingga masyarakat modern berorientasi konsumsi massal. Teori Rostow memberi panduan struktural bagi negara-negara berkembang; sedangkan Tan Malaka, lewat Madilog, menawarkan fondasi mentalnya.

Keduanya mungkin berasal dari konteks berbeda. Rostow dari Eropa pascaperang, Tan Malaka dari perjuangan bangsa terjajah, namun keduanya berbicara soal hal yang sama yakni bagaimana manusia membangun peradaban dengan kesadaran dan rasionalitas. Rostow menawarkan peta jalan ekonomi, sementara Tan Malaka memberi kompasnya: logika dialektis yang membebaskan pikiran dari belenggu mistisisme dan otoritas buta. Tanpa keduanya, pembangunan hanya akan menjadi akumulasi infrastruktur tanpa jiwa, atau sekadar retorika tanpa fondasi material. Indonesia membutuhkan keduanya: struktur ekonomi yang terencana dan mentalitas yang kritis, rasional, serta mandiri.

Tahapan Rostow dan Lintasan Indonesia: Ketika Ekonomi Bertemu Filsafat

Rostow menguraikan lima tahap pertumbuhan ekonomi: dari masyarakat tradisional agraris menuju konsumsi massal modern. Indonesia telah melewati sebagian fase itu, era Orde Baru menandai take-off lewat industrialisasi, krisis 1998 memaksa penataan ulang prasyarat modernisasi, dan kini kita berupaya masuk fase drive to maturity dengan ekonomi digital dan hijau. Namun di tengah kemajuan infrastruktur, kita masih terperangkap ketimpangan, birokrasi lamban, dan nalar publik yang rapuh terhadap misinformasi.

BACA JUGA:Politik Akal Sehat

BACA JUGA:Rampai Nusantara Laporkan Anies ke Bawaslu, Anies Yakin Bawaslu Gunakan Akal Sehat

Di sinilah Tan Malaka melengkapi Rostow. Jika Rostow memetakan apa yang harus dibangun mulai dari infrastruktur, industri, teknologi. Maka Madilog menjawab bagaimana mentalitas bangsa harus disiapkan. Materialisme mengajarkan kebijakan berbasis data, bukan retorika. Dialektika mempersiapkan masyarakat menghadapi perubahan sebagai proses alamiah, bukan ancaman. Logika menjaga konsistensi antara visi, implementasi, dan evaluasi.

Rostow tanpa Madilog menghasilkan pembangunan kosong: gedung menjulang tanpa pemikiran kritis, pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan sosial. Sebaliknya, Madilog tanpa tahapan struktural Rostow hanya menjadi idealisme abstrak. Keduanya adalah dua sisi mata uang: Rostow memberi peta jalan material, Madilog memberi kompas mental.

Indonesia membutuhkan keduanya: struktur ekonomi terencana dan masyarakat yang berpikir rasional, kritis, serta mandiri. Keduanya berguna untuk membangun peradaban yang sesungguhnya merdeka. Tanpa landasan mental yang kuat, setiap loncatan ekonomi hanya akan menghasilkan modernitas semu: canggih di permukaan, rapuh di fondasi, mudah runtuh saat badai krisis menerjang.

Madilog di Setiap Tahap Pembangunan

Setiap tahap Rostow memiliki padanan dalam Madilog, membentuk sinergi yang utuh. Pada tahap tradisional, materialisme menjadi kunci: bangsa harus berani menatap realitas seperti ketimpangan aset, produktivitas rendah, akses pendidikan lemah. Tidak hanya sebatas menyalahkan takdir atau karma sosial. Pada tahap prasyarat dan take-off, dialektika menjadi napas perubahan. Modernisasi memicu benturan antara nilai lama dan baru, modal asing dan kedaulatan nasional. Kesadaran dialektis mengubah konflik menjadi energi transformasi, bukan destruksi. Pada tahap kematangan dan konsumsi massal, logika menjadi pengawal moral: ketika ekonomi tumbuh, masyarakat rawan kehilangan arah. Logika memastikan kemajuan berpihak pada manusia, bukan sekadar angka pertumbuhan.

Rostow berbicara tentang struktur ekonomi yang memberikan jalan menuju kemajuan. Tan Malaka berbicara tentang struktur pikiran, kompas moral dan intelektual agar jalan itu tidak salah arah. Keduanya tak terpisahkan. Banyak negara gagal bukan karena kekurangan modal, tetapi karena cara berpikir keliru: pembangunan dijalankan seperti ritual, bukan analisis. Kita mudah percaya teknologi otomatis membawa kemajuan, padahal tanpa logika sosial, ia hanya memperlebar kesenjangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: