Reformasi Tata Kelola BUMN: CEO Asing atau Efisiensi, Mana Yang Lebih Urgen?
ILUSTRASI Reformasi Tata Kelola BUMN: CEO Asing atau Efisiensi, Mana Yang Lebih Urgen? -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Output dari buah kepemimpinan adaptif adalah mampu me-leverage sumber daya manusia, kapital, dan operasi ditransformasikan menjadi keuntungan organisasi, baik berupa laba bersih, dividen, maupun melejitnya corporate value.
Analisis benchmarking, yang dilakukan Fortune Asia 2024 terhadap sejumlah korporasi BUMN di tingkat Asia, menyajikan hasil riset berdasar key performance indicator (KPI) berbasis besaran aset, daya saing, dan kinerja finansial.
Diperoleh hasil sepuluh perusahaan raksasa Asia didominasi mutlak korporasi BUMN Negeri Panda di sektor perbankan dan keuangan. Sembilan di antaranya berasal dari korporasi Tiongkok dan satu-satunya korporasi BUMN Jepang.
Di posisi puncak diduduki Industrial and Commercial Bank of China (ICBC). ICBC menjadi yang terbesar dengan aset mencapai USD7,303 triliun. ICBC tidak hanya berkuasa di Tiongkok, tetapi juga melebarkan sayap ke berbagai negara, termasuk Indonesia, melalui ICBC Indonesia.
Kesepuluh korporasi BUMN raksasa dengan besaran nilai aset tersebut secara berurutan adalah 1) Industrial and Commercial Bank of China (ICBC): USD7,303 triliun (Tiongkok), 2) Agriculture Bank of China (ABC): USD6,540 triliun (Tiongkok), 3) China Construction Bank (CCB): USD6,202 triliun (Tiongkok).
4) Bank of China (BOC): USD5,135 triliun (Tiongkok), 5) Postal Savings Bank of China: USD2,539 triliun (Tiongkok), 6) CITIC Limited: USD1,744 triliun (Tiongkok), 7) Japan Post Bank: USD1,558 triliun (Jepang), 8) Industrial Bank: USD1,481 triliun (Tiongkok).
9) CITIC Bank: USD1,376 triliun (Tiongkok), 10) Shanghai Pudong Development Bank: USD1,346 triliun (Tiongkok).
Kehadiran ”The Big Four” korporasi perbankan milik Tiongkok (ICBC, AgBank, CCB, dan Bank of China) di posisi puncak mencerminkan skala luar biasa dari sektor finansial Tiongkok.
Total aset keempat bank tersebut menembus lebih dari USD25 triliun, jauh melampaui produk domestik bruto (PDB) negara-negara industri maju seperti Jerman sekitar USD4,5 triliun atau Jepang sekitar USD4,2 triliun.
Dengan kata lain, institusi perbankan itu bukan sekadar entitas bisnis, melainkan instrumen raksasa yang menopang kebijakan fiskal dan proyek infrastruktur global seperti Belt and Road Initiative.
Juga, merefleksikan hegemoni kekuatan ekonomi Tiongkok di panggung global vis-a-vis melawan dominasi korporasi teknologi ternama di dunia dari Silicon Valley seperti Google, Apple, Tesla, dan Intel serta Hewlett Packard.
Tebersit pertanyaan, bagaimana BUMN Tiongkok bisa tumbuh secara ekspansif dan menjadi dominan dalam peta persaingan global?
Profesor Edward Tsie, guru besar pada Cheung Kong Graduate School of Business (CKGSB) dan CEO Gao Feng Advisory Company (GFAC), salah satu konsultan bisnis papan atas paling terkemuka di Tiongkok, memaparkan strategi keberhasilan Tiongkok bahwa kombinasi antara birokrasi negara (Partai Komunis China/PKC) dan profesional diaspora adalah kuncinya.
Tegas Profesor Tsie, Tiongkok tidak segan-segan merekrut profesional asing untuk memperkuat struktur manajemen korporasi pada awal kebangkitan ekonominya. Kecepatan transformasi Tiongkok dalam menggapai pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dimulai sejak era reformasi Deng Xiaoping di awal 1980-an.
Dengan prinsip pragmatis ”tidak peduli warna kucingnya, sepanjang bisa menangkap tikus,” Deng Xiaoping dengan berani melakukan reformasi total ke arah sistem ekonomi pasar bebas, yang sebelumnya menganut sistem ekonomi tertutup dengan dominasi negara sebagai episentrum pengambil keputusan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: