Review UU 14/2025 tentang Haji dan Umrah, Perlu dan Mendesak
ILUSTRASI Review UU 14/2025 tentang Haji dan Umrah, Perlu dan Mendesak.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024
Ketika seseorang berangkat sendiri tanpa lembaga penyelenggara resmi, keberangkatannya tidak tercatat dengan jelas, tidak ada dokumentasi siapa yang memberangkatkan, tidak ada manifes keberangkatan, tidak ada presensi saat di Saudi, dan tidak ada mekanisme deteksi dini jika mereka hilang kontak.
Keluarga pun tidak tahu harus menghubungi siapa ketika terjadi sesuatu.
Pada titik itu, kerentanan tersebut berubah menjadi celah struktural yang dimanfaatkan sindikat untuk memindahkan korban dengan cepat, menyita paspor, mengalihkan mereka ke pekerjaan ilegal, bahkan memutus komunikasi total dengan keluarga.
BACA JUGA:Haji Warisan
BACA JUGA:Ekosistem Ibadah Umrah Bukan Pasar Bebas
Laporan KJRI Jeddah selama bertahun-tahun mencatat gelombang WNI yang overstay atau hilang kontak setelah masuk ke Saudi melalui visa umrah.
Laporan Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bahkan menunjukkan jumlah kasus yang terus meningkat dalam dua tahun terakhir, terutama sejak merebaknya fenomena ”umrah mandiri murah”.
Sementara itu, TIP Report 2021–2024 secara eksplisit menyebutkan bahwa sebagian besar korban trafficking yang masuk ke Saudi menggunakan jalur visa nonkerja, termasuk visa umrah. Itu bukan tuduhan yang dibuat-buat.
BACA JUGA:Kritik Industri Umrah sebagai Jalan Perbaikan
BACA JUGA:Memahami Aturan Baru Umrah
Itu adalah data resmi internasional yang dijadikan dasar penilaian kredibilitas suatu negara dalam memerangi perdagangan manusia.
Pertanyaan penting kemudian muncul: jika data selama satu dekade menunjukkan bahwa umrah mandiri adalah jalur paling rawan, mengapa justru jalur itu mendapat ruang besar dalam UU 14/2025 tanpa instrumen pengawasan yang setara dengan risikonya?
Apakah negara siap menanggung konsekuensi ketika celah regulasi tersebut kembali dieksploitasi oleh jaringan TPPO? Atau, lebih tepatnya: apakah kita bersiap membiarkan pintu yang sama tetap terbuka meski kita tahu apa yang berulang kali terjadi di baliknya?
Itulah alasan mengapa judicial review (JR) atas UU 14/2025 menjadi mendesak. JR bukanlah upaya menghalangi masyarakat untuk beribadah. Bukan pula bentuk pengekangan terhadap ikhtiar umat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: