Thrifting sebagai Fenomena
ILUSTRASI Thrifting sebagai Fenomena.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Thrifting di Surabaya Makin Mudah, Kondisi Nomor Satu, Merek Belakangan
Budaya thrifting mengalami metamorfosis. Secara etimologis, thrifting berarti berhemat, mengirit. Thrifting dianggap praktik berhemat untuk mengurangi limbah mode dan memperpanjang umur pakaian yang masih layak pakai.
Kini, akibat derasnya arus globalisasi dan budaya digital, thrifting berubah menjadi simbol gaya hidup baru, perpaduan antara kesadaran sosial, pencitraan diri, dan bahkan gengsi. Terjadilah thrift gentrification, ketika praktik berhemat dan keberlanjutan berubah menjadi bagian dari konsumsi gaya hidup yang eksklusif.
Tren thrifting berkembang pesat. Di media sosial, muncul berbagai konten ”thrift haul” dan ”thrift flip” yang menampilkan pakaian bekas branded merek luar negeri.
Seiring dengan perubahan pola konsumsi yang makin bergantung pada media sosial, masyarakat konsumsi –terutama gen Z dan milenial– makin dekat kepada pencitraan dan gengsi ketimbang pertimbangan rasional dalam berkonsumsi.
You are what you wear adalah adagium lama yang masih tetap relevan sampai sekarang. Budaya digital yang sangat masif membuat adagium itu menjadi mantra bagi masyarakat konsumsi sekarang ini.
Mereka menjadi ”manusia satu dimensi”, dalam istilah Herbert Mercuse, yang sangat bergantung kepada konsumsi.
Filsuf postmodern Prancis, Jean Baudrillard, sudah mencium gejala masyarakat konsumsi itu sejak lama. Dalam buku La Societe de Consumption (1970, edisi terjemahan Masyarakat Konsumsi, 2004), Baudrillard mengritik keras pola konsumsi yang berlebihan.
Masyarakat konsumsi menjadikan konsumsi sebagai citra yang simbolis manipulatif. Orang membeli Lamborghini tidak karena butuh kendaraan, tetapi untuk diakui di kelasnya.
Kata Baudrillard, masyarakat kita telah dirusak oleh masyarakat konsumsi yang merupakan tatanan dari manipulasi tanda dan simbol.
Tren thrifting membuka fenomena lama mengenai kolonialisme kultural yang masih mencengkeram masyarakat dunia ketiga, seperti Indonesia.
Warisan penjajahan kolonial ratusan tahun membuat masyarakat dunia ketiga terkagum-kagum pada apa saja yang berasal dari Barat. Musik, makanan, film, gaya hidup, termasuk pakaian bekas, senyampang berasal dari Barat, akan dianggap bergengsi.
Pelaku thrifting memburu pakaian bekas branded luar negeri tanpa peduli asal-usul dan kebersihannya. Sebab, label asing di pakaian dianggap mampu menaikkan status sosial dan rasa percaya diri.
Padahal, sebagian besar pakaian thrifting impor yang beredar di pasaran bukanlah barang bermerek premium, melainkan sisa donasi massal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Jepang.
Barang-barang itu dikirim ke negara berkembang sebagai limbah tekstil yang kemudian diseleksi dan dijual kembali. Tidak jarang pakaian tersebut sudah rusak, kotor, atau bahkan mengandung jamur dan residu bahan kimia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: