Ulasan Film Judheg (Worn Out) dalam Rangkaian JAFF 2025: Kebodohan, Kemiskinan, dan Cinta Monyet
YUDA KURNIAWAN (kiri) dan Misya Latief dalam proses produksi film Judheg (Worn Out) yang mengangkat tema pernikahan dan perceraian dini.-Yuda Kurniawan untuk Harian Disway-
HARIAN DISWAY - Kebodohan, kemiskinan dan cinta monyet memang paduan sianida yang mematikan. Begitu setidaknya premis film Judheg (Worn Out) yang diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2025 di bioskop Empire XXI Yogyakarta pada Kamis, 4 Desember 2025.
Supri dan Warti bertemu pada usia muda. Mereka lalu menikah dan punya anak. Ketiadaan edukasi atas makna hubungan suami istri dan tanggung jawab rumah tangga membuat Supri lepas tanggung jawab. Ia tidak menafkahi Warti dan anaknya, Cahyo.
Karena situasi yang “i dalam Judheg” alias stres bertubi, Supri tak tahu harus berbuat apa. Sebagai pelampiasan kejudhegan-nya, ia lalu rajin marah-marah dan memukuli istrinya. Warti yang stres karena perilaku sang suami akhirnya tak bisa memproduksi ASI yang dibutuhkan bayinya.
Kekerasan berulang dan stres yang bertubi-tubi membuat Warti kemudian melawan Supri. Dia memutuskan untuk berduel dengan Supri. Hooreeeee! Bagian ini aku sukak! Warti melawan!
BACA JUGA:Jaga Tradisi, Gerakkan Inovasi, Whani Darmawan Raih Anugerah Kebudayaan DIY 2025
BACA JUGA:Pengalaman Whani Darmawan menjadi Juri Akhir FFI 2025 Puspawarna Sinema Indonesia: Mengalami, Mengamati, Mengkritisi
Duel Warti dan Supri tak melahirkan pemenang. Tak ada juga yang kalah. Akhirnya, Warti memilih untuk bercerai. Warti lantas menempuh hidup baru yang mengharuskannya berpisah dengan buah hatinya. Cahyo dititipkannya kepada kedua orangtuanya karena dia harus bekerja sebagai buruh pabrik wig di kota.
Sebagai sutradara, Misya Latief bercerita dengan sangat lugas tanpa terjebak naif. Film yang terinspirasi fenomena pernikahan dini di Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, itu sukses menyita perhatian pengunjung JAFF 2025.
Hasil penelitian UIN Walisongo Semarang di Kecamatan Karangmoncol pada 2020 lalu menyebutkan bahwa sebanyak 106 pasangan menikah dini. Pada tahun yang sama, angka perceraian dini mencapai 89 kasus. Hampir 80 persen dari 89 kasus tersebut disebabkan oleh ketidakharmonisan suami istri.
Dan, seperti biasa, oleh karena kondisi kodrati perempuan yang melahirkan dan menyusui, perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan.

ADEGAN BERSITEGANG antara Warti (diperankan Darti Yatimah) dan Supri (diperankan Sigit Blewuk) dalam film Judheg (Worn Out) yang tayang perdana dalam gelaran JAFF 2025.-Yuda Kurniawan untuk Harian Disway-
BACA JUGA:Tiga Buku Whani Dharmawan Dibahas dalam Acara Merayakan Permainan Tunggal
Ketidakmampuan pasangan menegakkan pengadaan ekonomi, ketidakmampuan laki-laki mencari nafkah sembari membebankan pengelolaan pertumbuhan anak kepada perempuan, terus dipelihara oleh kultur.
Faktor sumber daya manusia (SDM), egoisme dan bumbu kemachoan laki-laki akibat budaya patriarki plus lemahnya edukasi, menciptakan blunder yang mampat hingga cuma bisa melahirkan judheg.
Kelugasan Misya Latief dalam bercerita tidak hanya muncul dalam tutur para tokoh, tetapi juga para pemain yang “bukan aktor” tapi kualitas aktingnya tak kalah dengan para “aktor sungguhan” (acting no acting).
Judheg (Worn Out) adalah wujud film yang menggunakan kekuatan fungsinya sebagai syiar. Khususnya, syiar akan tradisi kedunguan pernikahan dini di sebuah tempat yang kebetulan terletak di salah satu sudut Kabupaten Purbalingga.
BACA JUGA:Ulasan Film Pangku Karya Reza Rahadian: Memangku Hidup yang Tak Boleh Membeku
BACA JUGA:MAXStream Studios dan Telkomsel Dorong Sineas Muda Angkat Cinta Indonesia Lewat Tiga Film Pendek di JAFF 2025
Sikap patriarki Supri yang konyol, sok berkuasa tapi nyaris tak punya daya, banyak ditemui di lingkungan sekitar kita. Memelihara gaya dan harga diri di hadapan istrinya sehingga mengabaikan esensi kemanusiaan sang istri, juga bukan pemandangan asing di Tanah Jawa.
Kisah Supri adalah balada tong kosong lelaki yang riuh tapi rombeng. Cuma bisa wira-wiri dengan motor modifnya dan rambut gondang (gondrong dangdut), mendem (mabuk, Red.), dan kepulan asap rokok; lantas seketika lemah lunglai ketika ditagih uang susu anaknya, atau dikonfirmasi kenapa pulang malam. Oleh karena judheg, Supri cuma bisa marah dan melayangkan hantaman ke kepala istrinya.
Oh, apakah Misya Latief ingin menyudutkan kaum adam dalam film ini? Tidak juga.
BACA JUGA:Sinopsis Drakor As You Stood By, Pembalasan Dua Perempuan Korban KDRT
BACA JUGA:4 Fakta Drakor As You Stood By, Thriller Emosional yang Angkat Isu KDRT

PROSES PRODUKSI film Judheg (Worn Out) yang menggunakan Dialek Ngapak melibatkan para pemain amatir yang kemampuan aktingnya tak bisa diremehkan.-Yuda Kurniawan untuk Harian Disway-
Judheg (Worn Out) juga memaparkan bahwa kejudhegan Supri bukan lahir sepenuhnya dari karakter yang buruk, melainkan juga karena unsur ketakberdayaan.
Itu diwakili adegan saat Supri minta maaf setelah memukul Warti, meski kemudian mengulanginya lagi hingga akhirnya menggerakkan Warti untuk melawan.
Setelah menyaksikan film yang dalam rangkaian JAFF 2025 terjadwal pada pukul 21.30 WIB itu, satu hal terpatri dalam benak saya. Film yang diproduseri Yuda Kurniawan itu mengirimkan pesan serius seperti ini, “Kalau jatuh cinta jangan bodoh, kalau masih bodoh jangan jatuh cinta.”
Sebab, cinta tak hanya butuh semangat. Cinta juga butuh kecerdasan, termasuk dalam bidang finansial. “Semangat Joeang ‘45” atas nama cinta musti dijauhkan dari ksatria halu bernama Don Quixote.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: