Tongkat NU
Ilustrasi NU/Net--
BACA JUGA:PBNU Gonjang-ganjing, Dekatkanlah Yang Jauh
Sehari sebelum islah Lirboyo, saya sempat menemui Gus Yahya di rumahnya di Jakarta. Sekadar ingin memastikan suasana batinnya. Saat itu ia sudah tampak semringah. Ceria. Juga, sumeleh. Pasrah. Sambil makan siang bertiga dengan Lora Amin Said Husni. ”NU itu bukan milikku. Pasti ada jalannya dari Allah,” katanya.
Meski melibatkan dua tokoh utama di pucuk PBNU, apa yang terjadi di NU sekarang bukan sekadar konflik personal antar-elite. Ia adalah krisis kontrak sosial internal. Kontrak sosial sebagai kesepakatan implisit untuk menyerahkan sebagian kepentingan pribadi demi ketertiban kolektif.
Dalam NU, kontrak sosial itu tidak ditulis di atas kertas. Namun, hidup dalam tradisi, adab, sanad keilmuan, dan penghormatan kepada otoritas moral para kiai. Konstitusi tertulis NU tidak bisa ditafsirkan semena-mena dengan tanpa mengindahkan semua itu.
BACA JUGA:PBNU sebagai Peradaban: Sekeras Apa pun Orang NU Bertengkar, Tak Akan Tinggalkan NU
BACA JUGA:Gaya Komunikasi Politik PBNU: Isuk Dele Sore Tempe ala Gus Yahya?
Ketika konflik elite NU mencuat ke ruang publik, dengan tuduhan personal dan narasi saling menyalahkan, sesungguhnya yang terguncang bukan hanya struktur kepengurusan. Namun, juga kepercayaan kolektif warga nahdliyin terhadap mekanisme kepemimpinan NU itu sendiri.
Pada titik tersebut, NU menghadapi apa yang dalam teori kontrak sosial disebut state of disorder. Bukan anarki total, melainkan retaknya legitimasi simbolis. Guncangnya ikatan kultural. Merosotnya penghormatan kepada adab dan penghormatan terhadap otoritas moral kiai.
Islah bekerja sebagai mekanisme pemulihan kontrak sosial. Ia bukan sekadar damai formal. Melainkan juga proses rekonsiliasi moral yang mengembalikan kepatuhan kolektif kepada otoritas bersama. Dalam bahasa NU, islah bukan soal siapa menang dan siapa kalah, melainkan bagaimana jam’iyyah tetap utuh.
Berbeda dengan organisasi modern yang bertumpu pada kontrak legal-rasional, NU memiliki kontrak sosial kultural-religius. Legitimasi kepemimpinan tidak semata berasal dari AD/ART. Tapi, dari kesesuaian dengan nilai-nilai seperti tawaduk, khidmah, tabayun, dan adab terhadap sesepuh.
Islah di Lirboyo dan Surabaya menjadi efektif karena dilakukan di ruang simbolis yang sah: pesantren, para kiai sepuh, salawat, dan ekspresi batin yang tulus. Keduanya bukan semata seremoni bersatunya kembali para elite PBNU yang sempat gegeran, melanikan juga kembalinya kontrak sosial simbolis itu.
Tangisan Gus Yahya, pelukan, dan sikap sumeleh bukan kelemahan kepemimpinan. Dalam kontrak sosial NU, justru itulah bahasa kejujuran moral. Ia mengirimkan pesan kuat kepada warga: konflik telah kembali ke khittah akhlak.
Dengan cara itu, NU menghindari logika zero-sum game yang lazim dalam konflik elite politik modern. Tidak ada pemenang mutlak. Bukan logika tiji tibeh (mati siji, mati kabeh). Yang ada adalah pemulihan harmoni sosial.
Pertanyaan selanjutnya, akankah resolusi konflik ala NU itu tetap relevan di tengah perubahan struktur sosial dan budaya? Bisa bertahan, tapi tidak otomatis.
NU hari ini hidup dalam lanskap yang sangat berbeda dengan masa lalu. Media sosial mempercepat eskalasi konflik. Logika transparansi publik sering berbenturan dengan etika tabayun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: