Rumah abu Keluarga Han di Jalan Karet benar-benar menjadi simbol kekayaan pada masanya. Menggunakan bahan-bahan bangunan terbaik. Bahkan ada yang didatangkan dari luar negeri.
Series Jejak Naga Utara Jawa (22) : Tiang pun Diimpor dari Glasgow
Selasa 14-02-2023,15:29 WIB
Editor : Retna Christa
MEMASUKI rumah abu keluarga Han yang dibangun pada 1876 itu, terasa sekali bahwa sang empunya tidak hanya tahu barang bagus. Tapi juga sangat memahami arsitektur. Han Bwe Koo, keturunan keenam dari keluarga Han yang masuk ke Indonesia, membangun rumah seluas 1.000 meter persegi dengan selera tinggi.
’’Dan hebatnya, rumah sebesar ini bukan rumah tinggal, lho. Ini rumah abu, atau rumah doa,’’ jelas Freddy H. Istanto, founder Surabaya Heritage Society, yang menemani tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa berkunjung ke rumah abu Han dua pekan lalu, Rabu, 25 Januari 2023.
’’Ini semacam kuil keluarga. Tempat berkumpul saat keluarga Han merayakan peristiwa-peristiwa besar. Seperti pernikahan, hari raya, atau kematian,’’ lanjutnya.
Rumah itu menggunakan prinsip pembagian ruang Tionghoa klasik. Yakni teras, dua courtyard, dan ruang sembahyang. Courtyard pertama adalah ruangan semi publik. Untuk menerima tamu kolega atau teman. Courtyard kedua lebih privat. Hanya untuk keluarga. Di sayap kanan kirinya ada ruang penyimpanan, ruang sembahyang buat perempuan, ruang makan, dan ruang meeting.
’’Mereka menggunakan kualitas bahan bangunan yang berbeda untuk setiap ruangan. Tergantung fungsinya,’’ jelas Freddy.
BACA JUGA: Tapak Kejayaan Rumah Abu Han
Ia meminta kami memperhatikan lantai ruangan. Di teras luar, lantainya tegel biasa. Setelah memasuki pintu jati berdaun ganda yang dicat cokelat gelap, terdapat courtyard pertama. Berupa ruangan semiterbuka yang disangga delapan pilar besi. Lantainya juga tegel. Tapi kualitasnya setingkat lebih tinggi. Motifnya lebih rumit.
Untuk menuju ke courtyard dalam, kita melewati sepasang pintu kayu kuno. Kusen dan daunnya berwarna abu pudar. Namun dihiasi kaca grafir. Sangat mewah pada zamannya.
Courtyard kedua berbentuk persis dengan sebelumnya. Sama-sama semi-outdoor, dengan halaman kecil di kanan kiri. Karena ruangan yang berbatasan langsung dengan ruang altar itu adalah tempat privat, maka kualitas bangunannya beda lagi. ’’Lihat. Lantainya marmer. Beda kelas kan, dengan yang di luar,’’ kata Freddy.
Ruang altar diberi levelling. Naik satu tingkat. Menunjukkan bahwa level ruangan itu lebih tinggi. Lebih suci. Lantainya juga marmer, tapi lebih halus lagi. Warnanya lebih gelap. Lebih berkilau. Padahal, usianya hampir 1,5 abad. Mewah.
Ukiran kayu jati menghiasi ruangan tempat sembahyang tersebut. Menutup separo dinding dan langit-langit. Membentuk motif-motif binatang mitologi seperti kilin, burung hong, hingga naga. Dua lukisan besar keluarga Han diletakkan di sisi kanan kirinya. ’’Kayu jatinya didatangkan dari Jepara. Di sini (Surabaya, Red) enggak ada,’’ jelas Freddy.
Sementara itu, di courtyard, terdapat pilar-pilar yang terbuat dari besi cor. Ada ukiran, tapi hanya di separo ke bawah. Jumlahnya delapan. Jika ditambah dengan pilar yang sama di courtyard depan, totalnya 16. Jika diperhatikan, di antara cat yang mengelupas, pada tiang-tiang itu terdapat tulisan W. MACFARLANE & CO. GLASGOW.
Ya, kolom besi itu dibuat di Glasgow. Di sebuah pabrik besi ornamental paling berpengaruh di Skotlandia pada abad ke-19. ’’Bayangin aja, gimana orang di tahun 1800-an bisa mendatangkan tiang sebesar ini dari Glasgow. Kalau nggak kaya banget,’’ kata Freddy.
Di sisi lain, rumah abu keluarga Han sangat khas rumah tropis. Desainnya merespons iklim Surabaya yang panas. Maka, dibuat banyak bukaan. Agar udara dan sinar matahari alami bisa masuk. Sehingga rumah tidak gerah. Situasi itu sangat membantu manakala keluarga sedang berkumpul.
’’Sangat mengagumkan bagaimana mereka mengadopsi kondisi alam sekitar untuk diterapkan pada arsitektur bangunannya. Pemikirannya modern sekali,’’ puji Freddy. (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
SERI BERIKUTNYA: Ajarkan Perbedaan Lewat Arsitektur
Kategori :