BACA JUGA: Merawat dan Meruwat Kesehatan Mental
Ketika merasa ”penuh” atau tidak sanggup lagi untuk menahan beban dalam pikiran dan hatinya, seorang pekerja harus segera dapat mengeluarkan bebannya tersebut. Jika tidak, ia akan dapat mengalami burnout alias biasa diartikan sebagai stres kerja.
Dalam American Psychiatric Association, 2022, dijelaskan bahwa ketika mengalami burnout, seorang pekerja akan berpotensi mengalami insomnia, tidak semangat berangkat ke kantor, merasa lelah berlebihan, depresi, mudah marah, menarik diri dari lingkungan, sakit kepala, dan mudah mengalami sakit.
Berdasar penelitian banyak jurnal, jumlah absensi di suatu organisasi meningkat akibat karyawannya mengalami burnout. Ketika perusahaan memiliki karyawan yang sering tidak masuk kerja, tentu hal tersebut akan sangat merugikan perusahaan.
BACA JUGA: Peringati Hari Kesehatan Mental Sedunia, Direktur RSJ Menur Ingatkan Remaja Makin Rentan Depresi
ORGANISASI MENGATASI BURNOUT KARYAWAN
Menjadi sebuah tantangan bagi perusahaan untuk bagaimana memodifikasi suatu cara untuk menghindari terjadinya burnout terhadap para karyawannya. Hal tersebut tentu akan menjadi berbeda ketika dihadapkan pada skala organisasi tertentu.
Perusahaan besar, baik swasta maupun BUMN, akan lebih berpotensi untuk mewujudkan program kesehatan mental di organisasinya bila dibandingkan dengan perusahaan kecil dan menengah. Hal itu dimungkinkan karena penanganan khusus mental health di organisasi kecil dan menengah lebih dipandang masih menjadi beban biaya (cost) daripada organisasi-organisasi yang lebih besar.
Perusahaan besar mungkin dapat membuat suatu program layanan kesehatan mental yang lebih lengkap seperti penyediaan layanan konseling bersama tenaga profesional psikolog atau psikiater, kemudian melakukan psychological check-up secara rutin menggunakan alat tes untuk mengukur level stres atau kondisi psikis lainnya.
BACA JUGA: Awas, Sibling Bullying Berdampak Buruk pada Kesehatan Mental di Masa Depan
Juga, melakukan health talk untuk memberikan edukasi psikologis kepada seluruh karyawan. Tentu kita tidak dapat menyamaratakan program mental health apa yang paling ideal disuatu oragnisasi. Sebab, program-program yang ada di perusahaan besar seperti BUMN maupun swasta memiliki sumber pembiayaan yang lebih besar.
Hal tersebut tentu tidak bisa disamakan serta menuntut perusahaan sekelas UMKM untuk menerapkannya. Ironisnya, manusia atau SDM di dalam organisasi sama-sama memungkinkan untuk dapat mengalami burnout apa pun skala perusahaan tempat mereka bekerja.
Dengan demikian, modifikasi program tidak ada salahnya untuk mulai dipikirkan bagi setiap perusahaan di Indonesia.
BACA JUGA: Tak Hanya Cegah Sakit Parah, Vaksin Covid-19 Juga Baik untuk Kesehatan Mental
Dalam teori gaya kepemimpinan yang dikemukakan Daniel Golman, pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan tertentu dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan bawahannya tentu akan meningkatkan kepuasan kerja bawahan dan akan berdampak pada pengurangan burnout karyawan tersebut.
Program mental health dapat dilakukan secara sederhana dan murah salah satunya dengan cara menjadi seorang pemimpin yang mau mendengar, mau memperhatikan, dan peka dengan kondisi bawahan.